Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Segera Harmonisasi Aturan yang Tumpang Tindih

- Selasa, 23 Februari 2016 11:00 WIB
1.219 view
Sistem dan aturan di Indonesia sungguh kacau dari pusat hingga ke daerah. Dalam catatan Kemendagri, banyak peraturan yang dikeluarkan birokrat yang semrawut dan tumpang tindih. Akibatnya ada benturan antara institusi saat menegakkan aturan. Kewenangan yang saling silang membuat banyak masalah tak bisa diselesaikan dengan tuntas.

Saat ini terdapat 4.633 peraturan di Indonesia, mulai dari Kepres, Perpres, Permen, hingga Perda. Berapa sebenarnya yang tumpang tindih masih dalam kajian. Akhir tahun lalu, Ketua Tim Ahli Wapres Sofjan Wanandi mengungkapkan di level pemerintah pusat saja ada 1.600 peraturan yang harus dideregulasi atau ditata ulang agar sinergi untuk menopang roda ekonomi. Belum lagi aturan yang berlaku hingga daerah, bahkan desa.

Satu masalah yang pernah mencuat saat Kementerian Perdagangan menilai Peraturan Menteri Keuangan No. 132/PMK.010/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor tumpang tindih dengan pelarangan impor pakaian bekas. Dalam aturan tersebut diatur importasi pakaian bekas dan dikenakan bea masuk sebesar 35 persen. Padahal, Kementerian Perdagangan sebelumnya telah mengeluarkan Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.

Aturan tumpang tindih juga terjadi di sektor kelautan. Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan mengakui ada banyak penegak hukum di wilayah laut Indonesia. Paling tidak ada 12 lembaga dengan kewenangan penegakan hukum di laut, termasuk TNI AL. UU Pelayaran dan UU Kelautan tumpang-tindih bahkan bertolak belakang. Padahal tujuannya sama untuk melindungi laut Indonesia. 

Para pelaku usaha di bidang mineral air dan batubara (Minerba) mengalami kebingungan dan ketidakpastian karena adanya berbagai peraturan yang saling tumpang tindih. UU No 23 Tahun 2015 tentang Pemda dan UU Minerba No 4 tahun 2009 tidak sinkron tentang perizinan. Di UU Minerba No 4 tahun 2009  dikatakan bahwa yang bisa mengeluarkan izin adalah bupati atau wali kota, tapi dengan adanya UU No 23 tahun 2015 izin hanya bisa dikeluarkan oleh gubernur.

Kondisi serupa ditemukan dalam bidang perpajakan dan retribusi. Sebagai contoh, mengenai penerapan pajak air permukaan. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah diatur tarif pajak air permukaan maksimum sebesar 10 persen, namun di suatu daerah ternyata ditemukan penetapan tarif pajak air permukaan yang lebih besar dari 10 persen. Anehnya, hanya diatur dalam bentuk Peraturan Gubernur, padahal seharusnya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).

Kemenkum HAM telah menyelenggarakan lokakarya Peningkatan Profesionalitas Perancangan Perundang-undangan. Tujuannya untuk menciptakan harmonisasi antar kementerian dan lembaga dalam membuat aturan agar tidak saling bertentangan satu sama lain. Seluruh peraturan dari Perda, Permen, PP, Perpres hingga UU tidak boleh saling bertentangan. Semua peraturan tersebut harus berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila. Ke depan diharapkan tak ada lagi aturan baru yang terbit tumpang tindih.

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan "Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan". Ketentuan dalam pasal ini memang membatasi hanya rancangan undang-undang saja yang perlu diharmoniskan dan RUU-nya pun dibatasi hanya yang berasal dari Presiden. RUU yang datang dari DPR prosedur pengharmonisasiannya tidak dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Meski begitu Kemenkum Ham perlu proaktif dalam mengharmoninasi semua aturan yang ada dari pusat hingga ke daerah. Memang bukan pekerjaan mudah, tetapi jika tidak dimulai dari sekarang, maka sampai kapan pun akan tetap semrawut. Pembuatan aturan mesti mempertimbangkan kualitas juga. Jangan baru dikeluarkan, dalam hitungan bulan sudah dicabut kembali. Hal itu menunjukkan buruknya wajah para pembuat aturan di negeri ini. (**)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru