Pemerintahan Jokowi terus menggenjot pembangunan infrastruktur. Berbagai proyek diluncurkan antara lain pembangunan jalan tol, perbaikan jalan, kereta api cepat, pembenahan pelabuhan dan pembangunan waduk. Berbagai upaya percepatan telah dilakukan, termasuk mempermudah perizinan dan peluncuran berbagai kebijakan ekonomi.
Berbagai persoalan menghadang rencana pembangunan infrastruktur tersebut. Masalah yang mengemuka adalah pembebasan lahan yang tujuannya jelas-jelas untuk pembangunan dan kepentingan umum. UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan dan Perpres No.71 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksanaan belum mampu mengurai benang kusut dalam setiap kegiatan pembebasan tanah. Jangankan swasta, pemerintah saja pening dalam urusan pembebasan lahan.
Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Hanggoro Budi Wiryawan mengungkapkan swasta berharap pembebasan lahan dilakukan oleh pemerintah. Salah satu ketakutan terbesar swasta adalah menghadapi pembebasan lahan. Hal ini membuat banyak investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya karena takut terbentur dalam pengadaan lahan. Tak heran jumlah investor belum tumbuh signifikan dibanding potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia.
Sengketa tanah terkait proses musyawarah dan penetapan bentuk dan nilai ganti rugi. Pemegang hak atas tanah umumnya meminta nilai ganti rugi yang lebih besar atas tanah dan segala kekayaan yang berada di atasnya. Mereka berdalih tanah merupakan tumpuan hidup satu-satunya dan jika dijual maka kemiskinan akan datang. Itu sebabnya, pemilik biasanya menuntut ganti-rugi yang tinggi, jauh di atas harga pasar.
Pemilik tanah sangat paham tujuan lahannya dibebaskan. Mereka sudah pintar mengadakan kalkulasi bisnis. Jika tanahnya misal menjadi jalan tol tentu memiliki nilai bisnis tinggi. Rakyat juga tak sependapat jika negara tak memiliki uang yang cukup untuk membayar ganti rugi tanah. Jadi pembebasan lahan tak boleh menempatkan pemilik tanah dalam posisi tawar yang lemah yang harus menyerah dengan mudah dengan tawaran pemerintah.
Dalam menentukan nilai ganti rugi, pemerintah sebaiknya jangan menyamaratakan setiap kasus. Memang sudah ada rumusan yang baku berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) dan harga pasar. Sering diabaikan nilai kesejahteraan, yakni bagaimana nasib pemilik tanah selanjutnya. Seharusnya, besaran ganti rugi menjamin hidup pemilik tanah selanjutnya, sebagaimana dia hidup dari lahan tersebut sebelumnya.
UU Nomor 2 Tahun 2012 telah mengatur lima macam bentuk ganti rugi, yakni tanah pengganti, uang, pemukiman kembali, kepemilikan saham dan bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak. Jadi uang bukan satu-satunya alat dalam pemberian ganti rugi lahan. Bisa saja bentuknya dalam bentuk pekerjaan di eks lahannya, apakah sebagai karyawan atau tenaga kebersihan. Sayangnya fokus ganti rugi masih berkutat tentang nilai rupiah.
Jika pemilik tanah keberatan dengan ganti rugi yang diberikan, masih ada kesempatan untuk menggugatnya ke pengadilan negeri. Jika tak puas juga dengan putusan PN, maka kasasi langsung ke Mahkamah Agung. Dalam 30 hari, MA sudah harus memberi putusan agar ada kepastian hukum. Sementara putusan berkekekuatan hukum tetap belum ada, maka pemilik tanah tak bisa digusur paksa dari lahannya.
Masalah pembebasan lahan mesti ditangani dengan bijak. Nilai ganti rugi tak boleh hanya mengacu ke nilai rupiah saja. Kita memahami proses pembangunan memerlukan kecepatan. Tetapi hak pemilik tanah tak bisa diabaikan begitu saja. Perlu ada negosiator tangguh dari pemerintah agar proses pembebasan lahan bisa dilakukan dengan baik tanpa ada silang sengketa lebih lanjut.(**)