Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Karakter Bangsa dan Larangan KPI

- Senin, 29 Februari 2016 09:38 WIB
505 view
Media massa memiliki peran besar dalam pembentukan karakter masyarakat. Perkembangan zaman yang membuat hampir semua anak, remaja hingga orangtua duduk lama-lama di depan televisi ternyata memiliki efek yang dahsyat. Sifatnya yang audiovisual ternyata memengaruhi apa yang dipikirkan hingga perilaku penontonnya.

Hal itu dijelaskan dalam teori komunikasi tentang proses penanaman dalam diri manusia yang terjadi dari proses media massa yang memengaruhinya waktu demi waktu. Apa yang dipertontonkan secara berulang akan dianggap sebagai kebenaran. Walau sebenarnya dari nilai-nilai etika umum sangat bertentangan.

Apabila yang disiarkan adalah nilai-nilai positif, beretika dan optimisme maka masyarakat penontonnya akan didorong melakukan hal yang sama. Sebaliknya jika yang disajikan ketidaksopanan, pesimisme dan menyimpang, maka pemirsanya akan terpengaruh untuk berperilaku sama. Tentu saja sangat berbahaya jika materi tontonan dibiarkan tak terkendali tanpa ada pedoman etika yang harus dipatuhi.

Penonton sebenarnya memiliki hak untuk memilih siaran yang akan dinikmatinya. Remote televisi menjadi alat kendali untuk berganti channel. Namun keseragaman siaran yang namanya saja beda, tetapi ide dan tampilan senada, membuat penonton tak berdaya untuk memilih. Itu yang terjadi di Indonesia, lihatlah program musik dan sinetron di mayoritas televisi, isinya mirip-mirip.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bertujuan untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran di Indonesia. Jasa penyiaran yang dimaksud termasuk televisi. KPI memiliki tugas antara lain menjamin masyarakat untuk memeroleh informasi yang layak dan benar sesuai hak asasi manusia. Isi yang disajikan media penyiaran mesti layak dan benar.

Bisa dipahami mengapa Komisi Penyiaran Indonesia mengeluarkan surat larangan pada stasiun televisi untuk menayangkan pria yang berperilaku dan berpakaian seperti wanita. Lewat surat nomor 203/K/KPI/02/16 yang ditujukan kepada Seluruh Direktur Utama Lembaga Penyiaran tertanggal 23 Februari, KPI menyebut batasan yang harus dipatuhi. Dalam surat edaran, misalnya KPI meminta lembaga penyiaran di tanah air untuk tidak menampilkan pria sebagai pembawa acara (host), talent maupun pengisi acara lainnya, baik pemeran utama maupun pendukung, dengan tampilan yang kewanitaan.

Tampilan kewanitaan itu adalah bergaya berpakaian kewanitaan, riasan (make up) kewanitaan, bahasa tubuh kewanitaan, tidak terbatas pada gaya berjalan, gaya duduk, gerakan tangan maupun perilaku lainnya, gaya bicara kewanitaan, menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria untuk berperilaku kewanitaan, menampilkan sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita, dan menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering dipergunakan kalangan pria kewanitaan.

Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Idi Muzayat  menyebutkan banyak orangtua dan masyarakat yang memberikan masukan pada KPI. Mereka mengeluh dan khawatir terhadap anak-anak mereka, khawatir meniru perilaku kewanita-wanitaan itu. Apalagi isu LGBT lagi hangat dibicarakan di seantero negeri. Kelompok LGBT makin berani menunjukkan eksistensinya secara terbuka.

Meski ada pro kontra, sikap tegas KPI perlu didukung semua pihak. Apalagi televisi menggunakan frekuensi publik sehingga negara memiliki hak untuk mengatur apa yang disiarkannya. Pelaksanaan edaran KPI perlu diawasi dan diberi sanksi bagi media yang melanggarnya. Media penyiaran mesti memerbanyak siaran positif untuk membangun karakter bangsa ini. (**)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru