Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Menyikapi Hasil Pertemuan G20

- Selasa, 01 Maret 2016 09:56 WIB
449 view
Pertemuan negara-negara anggota G20 mencapai sederet kesepakatan antara lain, percepatan reformasi struktural, menjalin keterbukaan kebijakan, hingga mengevaluasi ulang kebijakan suku bunga negatif dan pemberian stimulus ekonomi. Sayangnya, pemikiran terkaitĀ  pemberian stimulus tidak ditemukan kata sepakat. Padahal investor menunggu-nunggu kepastian tentang hal itu.

Ketidaksepakatan tentang stimulus mengisyaratkan kondisi yang tak berubah di pasar selama beberapa waktu ke depan. Para investor yakin, Jepang dan Uni Eropa hanya akan menambahkan sedikit stimulus pada Maret. Apalagi, Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) dan Bank Sentral Inggris (Bank of England/BOE) telah memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya secara lebih ketat.

Jerman merupakan salah satu negara yang tegas menolak pemberian stimulus tambahan. Menteri Keuangan Jerman Wolfgang Schaeuble tidak tertarik kepada stimulus baru dan dengan tegas menolak pemberiannya. Model pertumbuhan ekonomi Uni Eropa yang dibiayai dari utang menurutnya telah mencapai batas maksimalnya. Bahkan menyebabkan masalah baru, meningkatkan utang, menyebabkan gelembung dan pengambilan risiko berlebihan.

Stimulus biasanya diberikan saat ingin menarik investasi dalam jumlah besar. Manfaatnya memang secara langsung akan dirasakan investor dengan adanya berbagai kemudahan. Namun dalam jangka panjang, stimulus akan mendatangkan dampak positif bagi ekonomi negara tersebut. Sebab dengan meningkatkan investasi, maka arus modal yang masuk makin besar dan menggerakkan roda ekonomi lainnya.

Pertemuan G20 tak lepas dari kehkawatiran atas apa yang terjadi saat ini di dunia global. Serangkaian isu berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi global. Penghambat tersebut antara lain, capital outflow yang sulit dikendalikan, penurunan tajam harga komoditas dan potensi krisis akibat rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (British Exit/Brexit). Ketidakpastian dan kekhawatiran membuat investor was-was dan sesewaktu bisa memindahkan modalnya ke tempat yang dianggap lebih aman.

Pertumbuhan ekonomi global berada pada titik terendahnya dalam dua tahun terakhir. Pengamat mengingatkan bahaya resesi meningkat. IMF bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan global tahun ini sebesar 0,2 poin persentase bulan lalu menjadi 3,4 persen. Penurunan lain kemungkinan terjadi pada April tahun ini. Pertumbuhan ekonomi Cina pada 2015 tercatat 6,9 persen atau mengalami pertumbuhan paling lambat sejak 1990. Sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia, performa ekonomi Cina sangat memengaruhi ekonomi dunia.

IMF sebenarnya sudah mendesak pentingnya pemberian stimulus untuk mencegah perlambatan ekonomi. Negara-negara perlu untuk meningkatkan stimulus fiskal dan mendorong melalui reformasi-reformasi untuk meningkatkan permintaan. Bank-bank sentral, termasuk Federal Reserve AS, harus memertahankan kebijakan moneter akomodatif untuk memastikan kondisi-kondisi keuangan lebih ketat tidak menghambat momentum pertumbuhan. Harapan ini pupus sebab negara G20 tak mencapai kata sepakat tentang stimulus.

Isu geopolitik ikut memengaruhi pelambatan ekonomi. Antara lain, krisis pengungsi Suriah, ketegangan di Laut China Selatan, konflik di Semenanjung Korea dan meningkatnya infeksi di Amerika Latin dari virus zika menimbulkan ancaman ekonomi. Faktor politik berpengaruh besar terhadap keputusan investor untuk menanamkan modalnya di suatu negara. Kegaduhan mesti dihindari agar pertumbuhan ekonomi bisa dipertahankan bahkan digenjot.

Menyikapi seruan IMF dan hasil pertemuam G20, Indonesia harus meletakkannya dalam kerangka kepentingan nasional. Saat ini pemerintah sedang berjuang memulihkan ekonomi bangsa. Berbagai stimulus telah diberikan melalui paket kebijakan ekonomi. Hasilnya memang tidak langsung terlihat, sambil menjaga fundamental ekonomi tetap kuat, pemerintah tetap harus menghitung berbagai risiko akibat dampak perlambatan ekonomi global.(**)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru