Mulai 1 April mendatang, iuran peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) mengalami kenaikan. Kenaikan tersebut telah diteken dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dengan terbitnya Perpres itu, besaran iuran Kelas I yang semula sebesar Rp 59.500, naik menjadi Rp 80 ribu.
Iuran Kelas II yang semula sebesar Rp 42.500, naik menjadi Rp 51 ribu. Sementara itu, iuran Kelas III yang semula Rp 25.500, naik menjadi Rp 30 ribu. Iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) serta penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah juga mengalami kenaikan, dari sebelumnya sebesar Rp 19.225 menjadi Rp 23 ribu. Namun, kenaikan iuran bagi peserta PBI tersebut sudah berlaku sejak 1 Januari lalu.
Kenaikan ini direspons berbeda berbagai kalangan masyarakat. Ada yang tegas-tegas menolak, di antaranya Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Menurut mereka, masih banyak fasilitas dan pelayanan kesehatan yang belum memadai dan benar-benar dirasakan oleh peserta BPJS Kesehatan. Hal ini dianggap merugikan peserta mandiri yang sudah membayar secara sukarela.
Jika kenaikan iuran dipaksakan, diprediksi akan berakibat pada menurunnya minat masyarakat dari kalangan peserta mandiri. Pemerintah diminta hanya menaikkan iuran penerima bantuan iuran (PBI) saja. Selain itu, pemerintah diharapkan memperbaiki fasilitas layanan kesehatan agar minat kepesertaan mandiri meningkat. Pengalaman yang sering terjadi, peserta membayar Kelas I tapi karena kamar Kelas I penuh maka turun kelas ke Kelas II bahkan Kelas III.
Target peserta PBI sekitar 86,4 juta orang dinilai terlalu tinggi. Sebab jumlah warga miskin menurut Badan Pusat Statistik pada 2015 hanya 28,5 juta orang. PBI akan menyedot biaya klaim kesehatan. Wajar jika kemudian BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga triliunan rupiah. Ini perlu dievaluasi agar BPJS Kesehatan tidak merugi hanya sekadar meningkatkan citra pemerintah.
Kenaikan ini juga menimbulkan tuduhan bahwa BPJS Kesehatan sudah bangkrut. Isu tentang BPJS di ambang kebangkrutan muncul setelah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyebut bahwa lembaga yang sebelumnya bernama PT Askes tersebut sedang kritis lantaran banyaknya peserta yang menunggak premi. Menanggapi BPJS Kesehatan mengakui bahwa iuran premi yang dibayarkan peserta memang masih di bawah target yang ditetapkan.
Kendati begitu, pemasukan BPJS Kesehatan ternyata tak hanya dari premi peserta, masih ada sumber dana lainnya. Jadi, tunggakan premi tak sampai mengganggu neraca keuangan. Telah ada jaminan BPJS Kesehatan tidak akan mengurangi manfaat yang diberikan kendati banyak peserta yang menunggak premi. Apakah benar demikian penerapannya di lapangan?
Terus terang masih banyak keluhan atas pelayanan BPJS Kesehatan. Memang sudah ada perbaikan, tetapi masih banyak masalah di lapangan. Antrean yang terlalu panjang dan kasus dipulangkannya pasien sebelum sembuh benar. Rumah sakit juga menjadi padat dan sulit mendapatkan kamar karena membludaknya pasien. Banyaknya pasien memiliki konsekwensi pelayanan tak bisa maksimal.
Kenaikan iuran mesti dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi dan perbaikan pelayanan secara menyeluruh. Jika BPJS Kesehatan tak mampu memperbaiki diri, sebaiknya kenaikan iuran ditunda. Pemerintah dan DPR RI mesti mengawal kinerja pelayanan BPJS Kesehatan agar maksimal. Iuran boleh baik, asal pelayanan membaik.
(**)