Komisi II DPR RI bermaksud memperberat syarat dukungan untuk calon independen. Awalnya hanya 6,5-10 persen, akan dinaikkan menjadi 20 persen dari jumlah pemilih. Alasannya, agar imbang dengan syarat bagi Parpol. Tentu saja hal itu sontak menjadi kehebohan di ruang publik, sebab diduga kuat terkait pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Kewenangan merevisi UU memang ada di tangan DPR dan pemerintah. Baik DPR, maupun pemerintah berhak mengajukannya. Namun untuk membahasnya mesti dilakukan kedua lembaga tersebut. Lalu apakah itu menjadi alasan untuk merevisi dan mengubah UU sesuka hati, manakala ada kepentingan terganggu? Tentu negara ini bukan hanya milik perorangan dan kelompok, segala sesuatu mesti akuntabel.
Baik DPR maupun pemerintah mesti memiliki alasan kuat untuk merevisi UU. Argumentasi logis harus dijelaskan ke publik apakah melalui media massa maupun saluran lainnya. Wajar dan sangat diharapkan ada masukan dari masyarakat. Suara rakyat tak boleh diabaikan, dan mesti menjadi penentu dilakukan revisi atau tidak. Beberapa kali pengalaman, revisi UU gagal karena tekanan publik.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana DPR RI berulang-kali berupaya merevisi UU KPK. Namun, upaya tersebut selalu mendapat perlawanan luas dari masyarakat. Bentuk perlawanan sangat beragam dan berkembang. Kalau dulu dilakukan dengan unjuk rasa, kini sudah dikenal bentuk protes melalui petisi online dan media sosial. Aspirasi publik bisa diukur dengan mudah melalui perkembangan teknologi informasi.
Bagaimana dengan rencana revisi UU Pilkada kali ini? Harus diakui dari penyelenggaraan Pilkada serentak tahap pertama tahun lalu, ada ditemukan berbagai celah dari UU. Antara lain tentang sanksi bagi orang yang melakukan politik ulang dan pengaturan tentang alat peraga kampanye. Sepanjang revisi tentang hal substansial, publik pasti mendukung, demi terselanggaranya Pilkada yang lebih baik.
Namun, jika revisi UU Pilkada dilakukan hanya untuk mengganjal seseorang menjadi calon gubernur, tentu sulit diterima akal sehat. Alasan untuk merevisi sepertinya logis, agar syarat dari partai politik dan jalur independen seimbang. Bukankah sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon independen? Mengapa DPR RI ingin mengutak-atiknya? Bukankah itu akan menjadi celah untuk digugat ke MK?
Berapa banyak lagi energi bangsa ini terkuras untuk hal yang sebenarnya tidak substansial lagi. Mesti disadari adanya calon independen merupakan amanat UU. Lalu, calon independen juga tidak mengurangi hak calon dari partai politik. Mengapa sekarang partai terganggu dengan adanya calon perseorangan? Bukankah sudah berapa kali Pilkada jalur itu dibuka dan tidak ada protes?
DPR RI diharapkan bijaksana melakukan kewenangannya. Meski ada kuasa di tangan dan itu legal, tetapi penggunaannya tetap harus memertimbangkan keadilan dan aspirasi publik. Jangan sampai rakyat marah dan kehilangan kepercayaan kepada wakilnya yang duduk di parlemen. Tak zamannya lagi partai bertindak semaunya dan mengabaikan suara publik. Jika ada yang berani, dipastikan akan kehilangan popularitas dan pada gilirannya elektabilitas merosot manakala Pemilu tiba.
Kita mendukung revisi UU Pilkada untuk hal substansial, bukan untuk mengganjal seseorang. Kepentingan kelompok mesti disingkirkan dan jika memang ingin menang di Pilkada, bertarunglah secara kesatria. Calon independen bukanlah jaminan bakal menang mudah. Tetap saja suara rakyatlah yang akan memilih dan pilihan itu akan ditentukan rekam jejak calon yang akan maju. Apa dan siapa calon, lebih menentukan dari jalur mana dia maju.
(**)