Pekerja Indonesia saat ini masih didominasi yang berpendidikan rendah. Berdasarkan Sakernas Agustus 2015, penduduk usia kerja berpendidikan SD ke bawah sebanyak 80,11 juta orang atau 43 persen. Sedangkan berpendidikan di atas SLTA hanya 15,82 juta (8,59 persen). Angkatan kerja berpendidikan SD ke bawah sebanyak 52,26 juta orang atau 42,70 persen, berpendidikan di atas SLTA baru 13,55 juta (11,07 persen).
Penduduk yang sudah bekerja pun belum sesuai harapan. Sebab masih lebih banyak yang bekerja informal yakni 59.38 juta atau 51,7 persen dari 114,8 juta orang yang bekerja. Pada tahun 2013, penduduk usia muda yang terjun ke pasar kerja sebanyak 15,39 juta dan mengalami kenaikan setahun berikutnya menjadi 15,66 juta dan terus melonjak tahun 2015 menjadi 15,75 juta.
Lalu pada tahun 2013 ditemukan banyak jumlah pengangguran usia muda yakni 4,51 juta jiwa dan mengalami penurunan setahun berikutnya menjadi 4,47 juta. Namun di tahun 2015 kembali melonjak menjadi 4,60 juta. Pengangguran usia muda ini seharusnya masih bersekolah-kuliah, sehingga mestinya golongan itu bukan angkatan kerja. Mereka ini sesungguhnya masih memerlukan peningkatan kualitas dan produktivitas melalui pendidikan dan pelatihan kerja. Tetapi, ketika terlalu dini masuk ke pasar kerja, maka mereka dapat langsung terjerumus dalam kemiskinan struktural.
Permasalahan bidang ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia memang sangatlah kompleks. Untuk membangun bidang ketenagakerjaan tidak dapat berdiri sendiri sehingga harus melibatkan pemangku kepentingan terkait, termasuk para ahli dan akademisi. Guna mencari solusi terbaik, perlu didukung data yang akurat. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus diperbaharui, dilaksanakan secara menyeluruh dan berkelanjutan dengan melibatkan serta partisipasi aktif berbagai pihak terkait.
Atas dasar itulah Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan menggandeng sembilan perguruan tinggi untuk mengurai permasalahan ketenagakerjaan dan membuka perspektif baru pembangunan ketenagakerjaan ke depan yang ideal. Akademisi dinilai lebih objektif dan memiliki spektrum lebih luas sehingga mampu melihat dan menemukan sisi lain permasalahan ketenagakerjaan.
Dari sembilan kampus yang menandatangani nota kesepahaman itu, salah satunya adalah Universitas Sumatera Utara Medan. Perguruan tinggi lainnya adalah Universitas Trilogi Jakarta, Universitas Airlangga, Perbanas Institute, Universitas Negeri Yogyakarta, IAIN Jember, Center for Indonesia Policy Studies, Universitas Hasanuddin dan Universitas Padjajaran. Mereka akan tergabung dalam Team of Policy Research (TPR) Ketenagakerjaan yang akan merumuskan kebijakan dan upaya untuk meningkatkan kualitas dan sumber daya pekerja Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan kerja.
Langkah Kementerian Ketenagakerjaan ini patut diapresiasi. Sebaiknya ini ditindaklanjuti hingga ke daerah. Pada level lokal, kampus-kampus setempat sebaiknya dilibatkan membantu pemerintah daerah menyelesaikan berbagai masalah ketenagakerjaan. Apalagi ini bukan hanya tanggung jawab pusat, tetapi juga daerah. Sebaiknya pemerintah daerah mengikuti jejak pusat dalam menuntaskan persoalan tenaga kerja melibatkan akademisi di daerah.
Dibebaskannya tenaga kerja asing ke Indonesia sebagai konsekuensi penerapan MEA merupakan ancaman serius bagi SDM lokal. Bukan berarti harus ditolak, tetapi harus dipandang sebagai peluang terciptanya situasi yang kompetitif sehingga pekerja lokal mesti meningkatkan kompetensinya. Untuk menambah kapasitas dan keahlian tersebut perlu bantuan dunia perguruan tinggi. Pelibatan perguruan tinggi akan mendekatkan kampus ke dunia kerja.
Selama ini ada keluhan tidak terhubungnya dunia kerja dengan dunia akademisi. Ada kesenjangan di antara keduanya yang perlu dikurangi. Kampus akan semakin memahami kompetensi apa nantinya yang akan diperlukan mahasiswanya saat masuk dunia kerja. Tentu saja perlu dorongan serius dari pemerintah pusat maupun daerah, agar kampus makin berperan memersiapkan SDM bangsa ini untuk berkompetisi dengan tenaga kerja asing.
(**)