Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Antara Aung San Suu Kyi dan Sonia Gandhi

- Kamis, 24 Maret 2016 11:02 WIB
343 view
Htin Kyaw, penulis dan pernah satu kali menyopiri pejuang demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi, akhirnya terpilih menjadi presiden setelah meraih mayoritas suara parlemen. Ia  tercatat dalam sejarah dunia sebagai pemimpin sipil pertama bagi Myanmar. Tokoh dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) ini meraih 360 suara dari 652 suara parlemen, menyingkirkan dua kandidat lainnya.

Harusnya Suu Kyi sebagai ketua partai pemenang pemilu menjadi presiden. Namun, merujuk pada konstitusi Myanmar, wanita yang bersuamikan warga Inggris dan dua anaknya juga berkewarganegaraan sama seperti ayahnya, dilarang menjadi presiden. Dia berjiwa besar untuk mendukung rekan separtainya menjadi orang nomor satu di negara eks junta militer tersebut.

Wanita berusia 70 tahun, bersumpah akan menjalankan pemerintahan melebihi seorang presiden bagi Myanmar. Pernyataannya menimbulkan spekulasi, apakah dia akan menyetir presiden. Sumpah itu ia sampaikan saat NLD resmi memenangkan pemilu Myanmar akhir tahun lalu.

Ada yang menyatakan Suu Kyi bisa berperan di balik layar dalam pemerintahan nanti, dan presiden yang dipilih akan berperan sebagai bonekanya. Namun ada yang memperkirakan dia berperan seperti Sonia Gandhi, janda mantan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi. Sonia, lahir di Italia, menjadi pemimpin Partai Kongres Nasional. Ia menjadi pemimpin tertinggi partai tanpa memiliki peran di pemerintahan.

Kebesaran jiwa Suu Kyi untuk tidak memaksakan diri menjadi presiden. Padahal bisa saja konstitusi yang melarangnya diubah. Hal itu mengingat partainya sebagai peraih suara mayoritas di parlemen. Namun kepentingan bangsa dan negara jauh lebih besar dari ambisi pribadi.

Bagaimanapun menyelenggarakan pemilu yang demokratis setelah bertahun-tahun di bawah rezim militer merupakan kemajuan besar. Lama juga Suu Kyi ditahan dan dilarang berpolitik. Perjuangan meraih demokrasi sangatlah mahal dan sarat pengorbanan.

Di sinilah keluhuran budi Suu Kyi yang bisa mengerem ambisi berkuasa. Tanpa menjadi presiden, dia tetaplah orang paling berpengaruh di negeri itu. Rekam jejaknya sebagai pejuang demokrasi dikenal di seluruh dunia. Tentu saja, wanita baja ini tak ingin kekuasaan menodai kariernya.

Sikap kenegarawanan Suu Kyi patut diteladani politisi negeri ini. Partai bukan perusahaan pribadi yang disetir pemegang sahamnya. Kepentingan negara tetap yang terutama baginya. Kisruh partai di Indonesia menunjukkan kedewasaan politisi negeri ini masih jauh panggang dari api.

Kita berharap era demokrasi yang baru dimulai di Myanmar akan terus berlanjut. Jangan sampai bunga yang baru mekar akan kuncup kembali. Hal itu tergantung kemauan politik para pemangku kepentingan. Selamat berdemokrasi rakyat Myanmar. (**)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru