Masalah BBM kembali menjadi persoalan hangat. Salah satunya karena APBN 2014 yang mengalokasikan subsidi BBM sebesar Rp 210 triliun lebih terancam jebol. Padahal, subsidi tersebut sudah mengalami kenaikan dari sebelumnya hanya Rp. 199,850 triliun. Subsidi itupun dibuat dengan kurs rupiah Rp 10.500.
Yang terjadi sekarang adalah subsidi membengkak karena dua faktor. Penyebab pertama adalah karena kuota subsidi melebihi jatah yang seharusnya digunakan. Sekarang ini kuota subsidi BBM diperkirakan kurang akibat semakin meningkatnya kebutuhan untuk kendaraan bermotor. Sebagaimana kita ketahui dalam tiga tahun terakhir, konsumsi BBM kini telah mencapai hampir 50 juta kiloliter. Angka yang fantastis karena meningkat dari sebelumnya hanya sekitar 38 juta kiloliter.
Kedua, adalah faktor depresiasi rupiah. Sekarang ini dengan kurs rupiah yang semakin melemah menjauhi patokannya, maka anggaran subsidi BBM menjadi luar biasa naiknya. Setiap kali kenaikan Rp. 100, maka subsidi BBM anggarannya naik Rp 3 triliun. Sekarang ini kurs rupiah terhadap dollar AS sudah menjadi Rp 11.700. Maka anggaran subsidi BBM kini telah meningkat sebesar Rp 36 triliun.
Salah satu persoalan besar yang akan menghadang pemerintah yang akan datang adalah pada kebijakan pengelolaan subsidi ini. Sudah lama pemerintah menyatakan bahwa akan dilakukan program penghematan konsumsi BBM yang melibatkan masyarakat. Sayangnya gaungnya entah kemana. Sebab sampai sekarang ini, pemborosan energi masih saja terlihat dengan nyata. Setiap harinya, Rp. 550 miliar habis untuk subsidi BBM ini dan sebagian besar untuk mendanai sektor transportasi.
Belum lagi rencana pemerintah yang sering gagal. Salah satu yang terakhir dan terus menerus dicoba adalah dengan menggunakan alat pengendali BBM di SPBU. Sampai sekarang hal tersebut masih saja belum terlaksana.
Konteks global sekarang ini memperlihatkan gejala resesi yang semakin sulit diprediksi. Krisis di wilayah Eropa Timur, Timur Tengah dan Asia menunjukkan bahwa krisis ini tidak akan pernah berhenti dan terus menerus berlanjut. Di dalam negeri, kompetisi Pilpres memberikan tekanan tersendiri kepada rupiah. Maka bisa ditebak bahwa tahun ini adalah tahun yang penuh dengan kesulitan.
Tetapi pilihan terhadap anggaran subsidi ini memang serba sulit. Ada nada politis yang terus menerus dimainkan di dalam kebijakan yang hendak diambil. Pemerintah selama ini terus menerus bertahan dengan memberikan subsidi, walau belakangan memang menaikkan sedikit harga BBM. Namun solusi terbaik selalu adalah menghilangkan subsidi ini tetapi memberikan kompensasinya secara langsung.
Pemerintah yang akan datang harus berani mengambil langkah pasti dan tidak populis. Langkah tidak populis itu adalah mengurangi dan kalau perlu menghapuskan subsidi BBM itu dan mengalihkannya ke sektor lain yang lebih produktif.
Mau tidak mau subsidi ini memang harus dihapuskan. Negara kita bukan negara kaya yang bisa memberikan uang secara gratis bahkan kepada orang kaya, melalui subsidi BBM. Di sinilah ketidakadilan itu muncul. Ketika orang kaya dan orang miskin sama-sama menikmati pemberian negara dan mengabaikan tanggung-jawab masing-masing, maka terlihatlah betapa tidak setaranya kedudukan, hak dan kewajiban warga negara.
Siapapun pemimpin hasil Pilpres, akan berhadapan dengan kondisi ini. Maka ada baiknya sekarang ini sudah dipersiapkan opsi-opsi kebijakan yang akan ditempuh supaya mereka yang menjadi pemenang bisa langsung tancap gas mengelola anggaran subsidi yang semakin tidak terkendali ini. Salah satu pertimbangan kita adalah memilih mereka yang berani melakukan tindakan progresif dalam mengelola keuangan negara secara khusus anggaran subsidi BBM ini
(***)Simak berita lainnya di Harian Umum Sinar Indonesia Baru (SIB). Atau akses melalui http://epaper.hariansib.co/ yang di up-date setiap hari pukul 13.00 WIB.