Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 13 Juli 2025
FOKUS

Reposisi Kembali DPR

- Minggu, 19 Januari 2014 12:39 WIB
503 view
Reposisi Kembali DPR
SIB/Int
Gedung DPR-MPR RI
Tidak berlebihan jika Lord Acton mengatakan power tend to corrupt. Kekuasaan dengan segala pesona yang dimilikinya kemungkinan untuk disalahgunakan pasti ada (abused of power). 

Kekuasaan yang terlalu besar atau lepas kontrol pasti disalahgunakan. Kekuasaan yang dimiliki oleh DPR saat ini boleh dibilang sangat besar. Kalau pada masa Orde baru DPR adalah tukang stempel pemerintah, saat ini kekuasaan  DPR itu sangat kuat, bahkan terlalu kuat sehingga melahirkan fase arogansi kekuasaan.

Mengembalikan fungsi DPR sebagaimana tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) tentu akan memperkuat konsolidasi demokrasi. Posisi DPR yang selama ini sangat kuat, termasuk memasuki wilayah yudikatif (penentuan peradilan) membuat tertib administrasi kenegaraan kita makin runyam.

Apa yang dilakukan  Mahkamah Konstitusi sudah sangat tepat dalam rangka penertiban kelembagaan demokrasi kita. Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan pengajuan uji materi UU Mahkamah Agung (MA) dan UU Komisi Yudisial (KY) tentang pengangkatan hakim agung.

MK mungkin memiliki pertimbangan bahwa pasal 8 ayat 2 , 3 dan 4  UU MA, serta pasal 18 ayat 4  UU KY telah menyimpang dari amanat UUD 1945 pasal 24A ayat 3. 

Kewenangan DPR dalam menetukan pemilihan hakim agung memang membuat runyam. DPR selama ini memiliki wewenang yang sangat besar. Bahkan mereka berhak melakukan fit and proper test menurut ukuran mereka. Akibatnya objektivitas pemilihan hakim agung menjadi kabur.

Tekanan politis terhadap lembaga yudikatif sangat tidak kita inginkan. Prasyarat demokrasi yang baik adalah bahwa lembaga independen harus bebas dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Dengan demikian hakim akan mandiri dan berdiri sebagai wasit yang memihak pada kebenaran.

Dengan mengabulkan uji materil UU MA dan UU KY ini berarti bunyi pasal 8 ayat 2, ayat 3. Ayat 4, calon hakim agung sebagaimana dimaksud ayat 1 disetujui oleh DPR dari nama calon yang diusulkan oleh KY.

Ini merupakan progres  positif dalam perkembangan ketatanegaraan kita. Reposisi DPR pada jalur yang sebenarnya sangatlah penting sebagai upaya mendorong kelembagaan yang sehat dan seimbang sebagai konsolidasi demokrasi modern.

Keberhasilan demokrasi sangat tergantung sejauh mana lembaga itu berperan dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi. Meminjam istilah Josep Stigliz masa depan globalisasi sangat terhgantung sejauh mana negara –negara global mampu mendemokrasikan lembaga –lembaga global yang dimaksud. IMF, WTO harus ditata ulang perannya dan jangan dibajak untuk kepentingan negara-negara maju. Inilah pemikiran Stiglitz yang sangat brilian.

Dalam konteks negara kita, posisi DPR harus benar-benar dikembalikan seimbang sehingga semua lembaga negara tidak merasa lebih kuat. DPR adalah lembaga pengawas   pemerintah agar pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya.

DPR bukan lembaga yang berwenang menentukan terpilihnya hakim agung. Hakim agung harus bebas dari intervensi. Hakim agung adalah lembaga yudikatif yang berperan menegakkan keadilan.

Proses pemilihannya pun harus bebas dari intervensi politik. Skandal lobi toilet tahun lalu sebuah gambaran bahwa intervensi politik dalam pemilihan hakim agung sangat dominan. Kini MK sudah mengakhiri dengan memangkas wewenang DPR dalam hal pemilihan hakim agung sebagai upaya menciptakan mekanisme checks and balances yang sesungguhnya.  (#)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru