Berbagai pemerintah kabupaten dan kota dan juga Pemrpovsu mendapat penilaian laporan keuangan dari BPK sebagai institusi pemeriksa keuangan. Ada laporan yang bagus, kurang bagus, bahkan kecurigaan manipulasi. Berbagai laporan keuangan pemerintah kabupaten dan kota yang diberikan BPK tentu masukan bagi Pemda tersebut untuk terus meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerahnya.
Opini BPK didasarkan pada kriteria antara lain, kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas Sistem Pengendalian Interen (SPI). Sudahkah ini dilakukan oleh semua Pemkab dan Pemko di Sumatera Utara agar tercipta konsep good governance dan clean goverment?
Tentu menjadi sebuah pertanyaan, sejauh mana opini BPK ini mampu meningkatkan pembangunan daerah secara terukur, apakah opini BPK ini hanya dokumen yang sekedar disulap dalam bentuk dokumen untuk pencitraan dari masyarakat? Apakah opini BPK dan opini masyarakat sama mengenai praktik pengelolaan keuangan daerah? Semua pertanyaan ini bertujuan meningkatkan pembangunan daerah secara terukur. Apalagi saat ini otonomi daerah menekankan otonomi keuangan sebagai upaya daerah meningkatkan pembangunan melalui pembiayaan yang sangat transparan. Transparansi merupakan prasyarat utama untuk keberhasilan pembangunan daerah.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 terdapat 4 (empat) jenis Opini yang diberikan oleh BPK atas Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah: 1. Opini wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion) 2. Opini wajar dengan pengecualian (Qualified Opinion) 3. Opini tidak wajar (Adversed Opinion)4. Pernyataan menolak memberikan opini (Disclaimer of Opinion). BPK RI memberikan opininya sesuai dengan hasil audit yang mereka lakukan.
Kembali kepada pertanyaan sederhana tadi, apakah opini BPK ini berdasarkan objektivitas semata? Apakah ada konsekuensi dari opini BPK ini bagi Pemkab dan Pemko? Setidaknya opini BPK ini menjadi pertanyaan karena kinerja Pemkab dan Pemko begitu-begitu saja. Apa yang dilakukan Pemkab dan Pemko belum mampu melakukan percepatan pembangunan daerah. Tolak ukur keberhasilan pembangunan tidak jelas. Indeks pembangunan yang seharusnya bisa dilihat secara kasat mata tidak nampak sama sekali. Tata kelola keuangan yang dilakukan hanya jadi rutinitas tahunan yang disulap dalam bentuk laporan kertas sebagai barang bukti bagi BPK agar terlihat kelihatan cantik. Efek dari tata kelola keuangan yang baik belum terasa karena opini BPK itu hanya bersifat dokumen yang dipoles Pemkab dan Pemko.
Ke depannya, tata kelola keuangan daerah, sekalipun mendapat opini yang bagus harus mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah karena inilah hakikat utama dari otonomi daerah. Otonomi daerah itu harus mampu menjawab kebutuhan dasar (basic need) masyarakat dalam bentuk pelayanan publik yang prima (public service). Opini masyarakat mengenai tata kelola keuangan jauh lebih penting dan objektif jika tata kelola keuangan daerah itu menyentuh substansinya, yaitu kualitas pembangunan yang prima dan langsung punya manfaat yang bisa diasarakan masyarakat.
(#)