Masalah pendidikan tinggi kembali mengemuka. Bulan-bulan seperti sekarang ini adalah saat dimana para calon mahasiswa “mengadu nasib†di berbagai perguruan tinggi. Umumnya mencoba terlebih dahulu keberuntungannya di universitas-universitas negeri. Mereka yang tidak lolos seleksi kemudian memasuki kampus-kampus swasta.
Pertanyaannya adalah apakah kualitas pendidikan tinggi kita sudah sampai pada level yang mampu menghasilkan perubahan? Nampaknya belum. Universitas-universitas kita masih jauh dari pengertian “link and match†sebagaimana pernah dipopulerkan oleh pemerintah pada tahun 90-an. Perguruan tinggi masih jauh dari maksud menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar.
Terlepas dari metode perangkingan yang digunakan, QS World University Ranking misalnya, selalu mengumumkan urutan universitas-universitas mulai dari nomor 1 dan seterusnya. Dan lagi-lagi, universitas dari Amerika Serikat dan Eropa mendominasi. Di papan atas, sepuluh kampus terbesar dunia selalu didominasi oleh kedua benua tersebut. Sekali-sekali, perguruan tinggi dari Asia menohok ke atas, sayangnya itu bukan dari Indonesia.
Tak heran mengapa bisa demikian. Salah satunya karena kualitas perguruan tingginya benar-benar serius dibenahi. Pemerintah memang membutuhkan lulusan perguruan tinggi di sana, untuk masuk dan bekerja di dalam rangka mendorong industri, riset, pertanian, ekonomi dan lain sebagainya. Mencetak SDM yang berkualitas bukan hanya dengan memasukkan mereka ke dalam sistem pendidikan, tetapi juga memastikan bahwa mereka mampu menerapkan ilmu mereka ke dalam sistem yang membutuhkannya.
Berkutatnya perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut bukanlah sebuah proses sekejab mata. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan ada kampus yang usianya telah lebih dari 1 abad, untuk membangun prestasi dan prestisenya sebagai kampus berkelas dunia.
Alih-alih berkejaran menuju kelas dunia, perguruan tinggi di Indonesia lebih banyak berkutat pada soal-soal remeh temeh. Universitas swasta sibuk mencari mahasiswa, sementara perguruan tinggi negeri sibuk dengan proyek-proyek pemerintah dan ujung-ujungnya ada yang tersangkut korupsi sebagaimana terjadi pada beberapa perguruan tinggi.
Jadi, mau dibawa kemana arah pendidikan tinggi kita? Kita khawatir bahwa pendidikan kita hanya mencetak sarjana-sarjana yang kemudian tidak termanfaatkan sama sekali di dunia kerja. Lulusan perguruan tinggi tersebut hanya menjadi beban dan tidak memberikan solusi untuk mendongkrak kemajuan pendidikan kita. Maka yang kita saksikan nantinya adalah mereka yang semakin lama semakin terdidik tetapi menjadi sumber dan beban sosial masyarakat.
Yang diperlukan sebenarnya adalah penataan arah pendidikan. Menarik menyaksikan arah pendidikan diterapkan di beberapa negara Eropa. Di Belanda misalnya, sejak dari lulus pendidikan menengah pertama, pendidikan kejuruan menjadi salah satu alternatif. Pemerintah memberikan insentif pendidikan sehingga mereka yang minat ke dalam pendidikan kejuruan paling tinggi nantinya hanya akan berpendidikan diploma. Tetapi itu bisa langsung diserap oleh pasar tenaga kerja. Demikian juga dengan mereka yang kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah umum, kemudian bisa menjadi sarjana karena dipersiapkan untuk berprofesi sebagai manajer level menengah.
Pendidikan nasional kita bukan hanya tentang UN, kurikulum, dan sejenisnya. Masih ada grand disain yang harus kita benahi dalam sistem pendidikan kita secara nasional. Tidak ada artinya mencetak terus menerus lulusan tetapi para gilirannya hanya akan menambah beban pemerintah.
Pemerintahan yang baru harus benar-benar mengerjakan “proyek†pendidikan tinggi ini dengan baik. Jika tidak, maka kita hanya bisa termangu menyaksikan kemajuan bangsa lain.
(***)