Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 14 Juli 2025

Penuhi Hak Pilih Rakyat

- Selasa, 08 Juli 2014 13:25 WIB
349 view
  Penuhi Hak Pilih Rakyat
Berita pemungutan suara yang terkesan kurang profesional menjadi perhatian kita dalam menilai kinerja KPU  di dalam menyelenggarakan Pemilu 2014 ini. Bagaimana tidak? Di Hongkong, Panitia Pemungutan Suara menutup TPS ketika waktunya sudah selesai, sementara ratusan pemilih masih antre. Mereka yang mengantre terpaksa kehilangan hak pilihnya. Apa pasal? Ternyata panitia hanya membuka sedikit TPS dan tidak mengantisipasi membludaknya pemilih. Terutama PRT yang hanya bisa keluar rumah untuk memberikan hak suaranya di siang sampai  sore hari. Di Australia lain lagi. Panitia mengaku kekurangan surat suara, meskipun telah menggunakan surat suara cadangan. Panitia harus menunggu surat suara sisa dari daerah lain.

Kejadian di atas menyiratkan kekhawatiran kita pada Pilpres yang akan berlangsung hanya dalam hitungan jam saja ini. Pilpres bukan sebuah perhelatan sekelas ujian nasional yang hanya membutuhkan surat suara ribuan jumlahnya, dan bisa dikelola oleh satu kementrian saja. Ini urusan jutaan surat suara yang harus disebar dari wilayah paling terpencil sekalipun sampai dengan di wilayah perkotaan.

Kita menyaksikan sekarang ini partisipasi pemilih memang meningkat cukup tajam. Setidaknya dari Pilpes yang sudah dilaksanakan di luar negeri, ada animo yang sangat tinggi dari masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Berbeda dengan Pileg yang sangat minim respons masyarakat, sekarang ini peningkatannya amat tajam.

Inilah yang kita khawatirkan menjadi sumber muasal problema yang serius. Jika surat suara ini tidak diantisipasi maka membludaknya massa yang ingin menyalurkan hak pilihnya bisa menjadi sebuah protes yang berujung kepada kekacauan. Bukan itu saja yang kita khawatirkan. Tidak tersalurkannya hak pilih masyarakat memperlihatkan bahwa KPU seolah bermain-main dengan upaya menyalurkan hak konstitusi masyarakat ini. Dan ini bisa mendorong protes yang lebih serius, bahwa KPU berpihak hanya kepada pemilih yang mereka anggap sebagai pemilih saja. Bahwa seolah dengan adanya pihak yang tidak bisa menyalurkan hak pilihnya dianggap sebagai warga negara kelas dua, ini juga harus menjadi perhatian kita bersama. Padahal kita tahu bahwa semua warga negara yang berhak menggunakan hak pilihnya, harus diberikan layanan yang sama, tanpa mempertimbangkan apapun keberadaannya dan bagaimanapun kondisinya.

KPU harus benar-benar berpacu dengan waktu. Menyediakan surat suara dan dokumen pendukung lainnya adalah keniscayaan jika KPU tidak ingin diduga bermain-main dengan penyelenggaran Pilpres ini. Percuma KPU sudah melakukan sosialisasi dan studi banding kemana-mana jika ujung-ujungnya hanya sebuah permohonan maaf dan keinginan untuk dipahami. Hak pilih yang tidak tersalurkan tidak bisa dimaafkan.

Ke depan kelihatannya kita perlu meningkatkan kualitas pemilu dengan mengintroduksi teknologi. Beberapa negara sudah memperkenalkan dan menjalankan pemilu dengan menggunakan finger print sehingga perhitungan suara menjadi lebih cepat. Selain itu, kasus-kasus kekurangan surat suara menjadi tidak perlu terjadi lagi. Lagi pula, dengan adanya sistem elektronik tadi, akurasi suara menjadi semakin baik dan hasil pemungutan suara menjadi lebih mudah diperoleh.

Banyak yang merasa bahwa hal ini akan menyulitkan para pemilih yang memiliki latar belakang pendidikan rendah. Modifikasinya sebenarnya bisa dibuat dalam bentuk gambar atau tulisan. Ini hanya persoalan sosialisasi. Selama ini masyarakat di pedesaan juga hanya memilih menggunakan lambang tanam-tanaman di dalam memilih kepala desanya. Ini bisa berjalan dengan sukses.

Kelihatannya perlu ada niat dan komitmen untuk menyelamatkan pemilu kita. Ini persoalan serius dan harus diselesaikan oleh siapapun yang menjadi penyelenggara pemilu. (***)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru