Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 14 Juli 2025

Mengaudit Lembaga Survei

- Sabtu, 12 Juli 2014 10:05 WIB
334 view
 Mengaudit Lembaga Survei
Pemilihan presiden yang digelar 9 Juli lalu, boleh dibilang mencatatkan sejarah. Selain antusiasme warga yang menggunakan hak pilihnya begitu besar, juga karena untuk kali pertama dalam sejarah Pemilu Indonesia, kedua pasangan calon mengklaim dirinya sebagai pemenang.

Dimulai dengan kubu Jokowi-JK yang dipimpin Megawati mendeklarasikan kemenangan (versi quick count atau hitung cepat beberapa survey).
Tak pelak lagi, kubu Prabowo-Hatta pun - yang direferensikan beberapa lembaga survey lainnya sebagai pemeroleh suara terbanyak -  mendeklarasikan kemenangan juga.

 Adalah hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei yang membuat kedua kubu merasa yakin dirinya sebagai pemenang Pemilu. Publik pun bingung. Entah kubu mana yang harus diakui sebagai pemenang. Presiden SBY pun merasa penting untuk mengadakan konferensi pers agar hasil Pemilu yang terbelah dalam dua kubu pemenang itu tak ditanggapi secara emosional. Presiden meminta agar semua pihak, terutama pendukung kedua kubu, bersikap sabar untuk menunggu penguman resmi dari KPU tanggal 22 Juli nanti.

Sedikitnya ada tujuh lembaga survei yang mempublikasi keunggulan  Jokowi-JK dari Prabowo-Hatta. Sementara ada pula empat lembaga survei yang menyatakan sebaliknya, yakni Prabowo-Hatta lah yang unggul. Tak pelak, hasil hitung cepat yang terbelah dua ini pun mengundang reaksi beragam dari masyarakat. Mulai dari yang meminta bersabar menunggu hasil resmi dari KPU, hingga mereka yang menuding ada lembaga survei sudah tidak independen lagi dan bahkan bisa diorder untuk memenangkan salah satu kandidat. Tak heran suara-suara yang mencurigai adanya rekayasa dalam hasil hitung cepat ini pun kian nyaring terdengar. Ada pula yang meragukan kualitas metode survei yang digunakan lembaga-lembaga survei itu. Sebagian bahkan mendesak agar KPU dan lembaga negara yang berotoritas mengadakan audit untuk membuktikan keindependensian dan kesahihan hasil hitung cepat lembaga survei tersebut.

Di era demokrasi semacam ini, memang tak mutlak semua lembaga -apalagi lembaga survei, harus satu suara. Perbedaan merupakan kekayaan demokrasi. Tapi hendaknya semua lembaga survei jangan teraviliasi pada pasangan tertentu sehingga kehilangan independensinya. Apalagi dilakukan secara berkelompok.

  Selain membuat kubu terbelah menjadi dua, dimana masing-masing kubu mengklaim sebagai pemenang pemilu, tindakan-tindakan semacam ini juga berpotensi untuk memberikan pendidikan politik yang tidak baik bagi masyarakat. Masyarakat tak diajari untuk legowo dan berjiwa besar menerima hasil kompetisi, tetapi malah dididik untuk menggunakan segala cara untuk merengkuh kemenangan.

Hal ini pun menjadi bahan olok-olok di tengah-tengah masyarakat yang sulit menerima hasil hitung cepat yang berbanding terbalik hanya karena terkesan ingin memenangkan salah satu pasangan calon. Padahal, hasil survei adalah produk ilmiah. Seharusnya dijunjung tinggi, bukan malah menjadi bahan olok-olok hanya karena integritas dan independensi sudah tergadai. Karena itu sudah sepatutnya memang, audit terhadap lembaga survei segera dilakukan dan dilakukan terhadap seluruh pelaku survey.

Karena pada pilpres ataupun pileg, yang diperebutkan adalah suara rakyat, bukan suara lembaga survey.

Ini juga pembelajaran bagi pemerintah untuk tidak begitu mudah memberikan ijin bagi lembaga survei bila kredibelitas dan integritasnya diragukan. (##)



SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru