UU MD3 baru saja disahkan DPR. Melalui voting, UU tersebut kemudian dijadikan pedoman yang berlaku terhadap institusi MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota.
Di balik kisruh penetapannya, UU MD3 diduga menyimpan sebuah misi khusus. Misi tersebut adalah untuk melindungi anggota DPR dari masalah hukum. UU tersebut menegaskan bahwa pemanggilan anggota DPR tidak lagi langsung bisa dilakukan oleh KPK misalnya, tetapi harus melalui permintaan yang ditujukan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (dulu Badan Kehormatan). Hanya jika kemudian Mahkamah Kehormatan Dewan tidak merespon dalam waktu 1 bulan, maka penegak hukum bisa langsung melaksanakan kewenangannya.
Pasal 245 ayat 1 UU MD3 memuat ketentuan bahwa penyidik baik dari Kepolisian, dan Kejaksaan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Namun, dalam pasal 245 ayat 3 UU MD3 disebutkan bahwa Kepolisian, Kejaksaan dan KPK tak perlu izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota DPR jika (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.
Sungguh sebuah privilage yang aneh bin ajaib. Apa anggota DPR masih merasa sebagai warga negara penting sehingga untuk memeriksa mereka diperlukan proses seperti itu? Siapa mereka sehingga merasa berbeda dari warga negara biasa? Bukankah negara ini menjamin equity before the law yang artinya seluruh warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum?
Kembali DPR sebagai salah satu elemen institusi negara yang berhak menyusun UU, mempertontonkan arogansi kekuasaan mereka. Alih-alih mendukung supaya negara ini bersih dari pelanggaran hukum, mereka malah berlaku curang dengan cara menelikung produk per-UU untuk lebih mengistimewakan mereka.
Para anggota DPR tersebut lupa bahwa sebutan “yang terhormat†itu hanyalah sebuah sebutan saja, dan tidak berarti bahwa mereka terhormat dalam segala hal. Benarlah komentar Ketua KPK bahwa jika untuk melakukan pemeriksaan maka DPR dan atau Presiden sekalipun memberikan hambatan, itu berarti KPK tidak mendapatkan dukungan dari kedua institusi tersebut.
Alih-alih merevisi, anggota DPR malah melakukan pembelaan bahwa hal tersebut dipentingkan untuk menjaga harkat dan martabat mereka. Kita sungguh sedih karena mereka tidak mengetahui dan membaca fakta bahwa bertahun-tahun, DPR telah dicap sebagai salah satu institusi terkorup di Indonesia. Ini adalah penilaian publik. Seharusnya mereka yang ada di Senayan sadar akan hal ini. Mereka tidak perlu menutupi diri, tetapi sebaiknya membuka diri untuk membersihkan elemen-elemen koruptor di lingkaran kekuasaan parlemen.
Berikutnya, tentu saja di era reformasi tidak perlu ada ketakutan soal harkat dan martabat. Semua penyelenggara negara adalah pelayan masyarakat. Mereka duduk di sana bukan untuk menduduki kursi suci. Melainkan untuk mendatangkan kemashalatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi tidaklah perlu mereka menjaga diri baik-baik sehingga seolah kebal dan menjadi malaikat.
Kita kecewa atas masuknya upaya melindungi anggota parlemen dari komitmen membersihkan korupsi. IPK kita belum beranjak, masih menjadi negara paria dan dilecehkan karena korupsi. Korupsi telah memiskinkan kita dan membuat kita tidak punya kesempatan membangun negara kita sendiri. Seluruh elemen negara, termasuk anggota DPR tidak bisa tidak, harus ikut membersihkan negara ini dari korupsi dan pelanggaran hukum lainnya. Jika tidak mereka akan dihukum oleh masyarakat yang memegang kedaulatan rakyat sesungguhnya.
(***)