Tahun ajaran baru untuk siswa-siswi di seluruh sekolah telah dimulai pekan ini. Orangtua siswa baru disibukkan oleh aktifitas mengantarkan anak-anaknya. Sedangkan siswa-siswi "lama" meneruskan kembali proses belajar mengajarnya.
Di balik keriuhan tersebut, dua guru di Jakarta International School akhirnya ditahan oleh polisi terkait kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekolah itu. Diduga, siswa TK di JIS mengalami berulang-kali pelecehan seksual oleh oknum yang berbeda-beda. Ironisnya, dua orang guru internasional diduga berperan di dalam peristiwa yang menyedihkan hati para orangtua tersebut. Polisi menyatakan bahwa kemungkinannya tersangka masih bisa bertambah.
Publik dibuat terheran-heran memang dengan keberadaan TK JIS ini. Sekolah mewah dengan fasilitas guru internasional menghipnotis banyak orangtua untuk mengirimkan anaknya ke sana. Tidak sembarangan orang juga bisa mengakses dan masuk ke dalam gedung sekolah. Keamanan dan perlindungan dibuat sangat ketat. Tetapi sayangnya, dari luar anak-anak siswa tersebut terlindungi. Hanya, mereka diteror dari dalam oleh mereka yang bekerja di sekolah itu. Petugas kebersihan yang direkrut oleh pihak sekolah menjadi awal terbongkarnya kasus tersebut.
Namun masalah JIS bukan hanya itu. Mereka juga ketahuan ternyata tidak memiliki ijin sebagai penyelenggara pendidikan TK dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Maka kasus ini kemudian mencuat semakin kencang. Kembali dituding ijin mengajar para guru internasionalnya. Ternyata itupun sebagian besar menggunakan ijin mengajar di SD, bukan di TK. Beberapa diantaranya dipulangkan oleh imigrasi.
Inilah fenomena paling mencengangkan dari sebuah pengelolaan pendidikan berbau internasional. Cap dan label internasional ternyata tidak paralel dengan apa yang diberikan oleh sekolah tersebut. Penyelenggaraannya ternyata juga hanya sebuah permainan. Kita tidak tahu apakah penyelenggaraan sekolah tersebut juga dengan tujuan untuk menyenangkan hati para pedofil atau memang serius meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak.
Masih banyak sekolah dengan profil yang tidak jauh berbeda. Hanya mementingkan nama dan label, serta utamanya profit, tanpa memberikan pendidikan yang serius dan berada dalam koridor pendidikan nasional. Menjamurnya pendidikan berlabel internasional misalnya, telah mendorong banyak orangtua untuk mengirimkan anak-anaknya ke sana. Program pendidikan internasional ini menjadi sebuah upaya meningkatkan kualitas pendidikan anak. Orangtua harapannya begitu. Tetapi bukti bahwa sekolah-sekolah jenis ini memang mampu dan signifikan, masih harus diuji.
Yang nampak adalah bahwa sekolah jenis ini malah menciptakan kesenjangan dan kelas dalam pendidikan kita. Mengingat mahalnya, maka yang mampu mengirimkan anaknya ke sekolah demikian hanyalah orangtua yang mampu saja. Mereka yang tidak mampu tetap mengirimkan anaknya ke sekolah biasa.
Tetapi sekolah tanpa embel-embel internasional juga bukan lebih baik. Berbagai kekerasan terhadap anak juga masih saja kita dengar dari sekolah "biasa". Belum lagi pengelolaan pendidikan yang masih sering jauh dari apa yang seharusnya. Pemerintah memang tidak punya kesempatan mengawasi semuanya. Akhirnya sistem pembelajaran di kelas sering luput dari pengamatan.
Di balik pemberlakukan Kurikulum 2013 mulai tahun ini, kita khawatir bahwa pengelolaan pendidikan kita amat jauh dari seharusnya. Secara fisik anak-anak kita masih terancam. Kebutuhan ilmu juga tidak paralel dengan keberadaan sekolah-sekolah kita. Inilah pe er kita di masa depan, bahkan terutama para orangtua yang mengirimkan anak-anaknya, agar jangan lengah
(***)