Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 14 Juli 2025

Gaduh Pragmatisme Politik

- Kamis, 17 Juli 2014 10:00 WIB
368 view
 Gaduh Pragmatisme Politik
Gaduh soal politik mencuat ke permukaan. Kali ini menimpa dua Parpol. Pertama adalah Partai Golkar. Sejumlah aktivis senior dan kelompok usia muda partai pohon beringin bertemu dan menyerukan adanya evaluasi terhadap pencapaian Partai Golkar selama Pileg dan Pilpres. Mereka di antaranya adalah Fahmi Idris, Andi Matallata, Ginanjar Kartasasmita serta Indra J Piliang. Mereka meminta ada pertanggung-jawaban atas kinerja Aburizal Bakrie. Mereka juga menyerukan adanya Munas Golkar tahun ini. Aburizal Bakrie yang akrab disapa ARB memandang sepi niatan itu. Ia menyatakan bahwa ia tetap akan bertahan sampai tahun depan. 

Uniknya, Agung Laksono, Menko Kesra, melempar isu bahwa bisa saja Partai Golkar akan berpaling ke Jokowi-JK jika pasangan tersebut memenangkan Pilpres. Menurut Agung Laksono, Partai Golkar tidak memiliki "tradisi" menjadi oposisi.

PPP juga memanas. Wakil Ketuanya Suharso Monoarfa mengritik keikutsertaan Ketua Umum Surya Dharma Ali dan Sekjennya Romahurmuziy dalam deklarasi permanen tujuh Parpol pro-Prabowo-Hatta. Diam-diam ada kabar juga yang beredar jika PPP akan mendukung Jokowi-JK jika pasangan tersebut menang dalam Pilpres ini.

Entah benar entah tidak, kubu Demokrat juga kabarnya tidak bulat dalam mendukung deklarasi permanen yang diusung Koalisi Merah Putih. Mantan Menteri Hukum dan HAM dan politisi PBB Yusril Ihza Mahendra bahkan khawatir jika koalisi Merah Putih hanya tinggal Gerindra dan PAN.

Perkembangan politik di atas membuat kita semakin menyadari bahwa tradisi kita untuk membangun sebuah idealisme politik masih jauh. Idealisme politik yang kita maksudkan di sini adalah konsistensi untuk membangun sikap dan perilaku politik tertentu secara tetap dan tidak berubah hanya oleh sekedar kekuasaan.

Kekuasaan memang menawarkan peran. Tetapi per definisi, peran tidak harus berada dalam lingkup kekuasaan sebagai pemerintah. Sebab masih ada peran lain yang bisa dilakukan, asalkan sesuai dengan platform politik yang ada. Sayangnya, platform itulah yang sekarang tidak bisa kita jadikan patokan. Partai politik kita hampir selalu berada di dalam pikiran yang sempit bahwa kekuasaan adalah duduk di pemerintahan.

Sejarah kekuasaan kita memang selalu demikian. Manakala ada kekuasaan maka partai politik berlomba-lomba untuk berada di dalam bagian kekuasaan tersebut. Hampir tidak pernah ada idealisme untuk menjalankan platform yang tegas dan berdiri di luar garis kekuasaan pemerintahan. Selama 10 tahun terakhir memang PDI-P, Partai Hanura dan Partai Gerindra berada di luar pemerintahan. Partai-partai ini patut diancungin jempol karena setidaknya dengan berada di luar sistem mereka bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat kembali di Pileg 2014 yang lalu.

Maka tak heran jika kita melihat manuver yang terjadi sekarang ini adalah semacam pragmatisme politik. Ada keengganan dan rasa tidak percaya diri jika berada di luar sistem maka Parpol-Parpol merasa tidak dapat melakukan apa-apa. Kita khawatir,  jika dengan pengumuman hasil Pilpres terjadi perubahan dari rencana, maka koalisi permanen bisa bubar juga dan jika masih ada menjadi tidak efektif. Padahal, dengan kemungkinan memeroleh dukungan 2/3 suara di parlemen, koalisi ini bisa menjadi tandem yang efektif bagi pemerintahan yang jika dimenangkan oleh Jokowi-JK harus berpikir keras bagaimana menyeimbangkan pemerintahannya.

Kita berharap,  pragmatisme politik ini tidak terus menerus dipegang dan dijadikan kebanggaan oleh para politisi. Jika mereka dengan sesuka hati mengubah haluan, maka merekalah yang melanggengkan idiom bahwa tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik. (***)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru