Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 14 Juli 2025

Menuju Masyarakat Bebas Subsidi

- Selasa, 12 Agustus 2014 10:55 WIB
323 view
 Menuju Masyarakat Bebas Subsidi
Rencana pemerintah untuk terus menerus menekan subsidi baru serius dilaksanakan tahun ini. Beban subsidi yang dibatasi dalam APBN 2014 membuat pemerintah seolah tidak punya pilihan lain. Kuota hanya sebesar 46 juta kilo liter dengan total biaya Rp 360 triliun telah mendorong pemerintah membuat pembatasan.

Namun persoalannya, sudah sejak lama masyarakat kita dimanjakan oleh pola subsidi. Penikmatnya sayangnya bukan masyarakat yang membutuhkan. Kementrian ESDM menyatakan, 70 persen BBM bersubsidi, solar maupun premium, masuk ke tangki kendaraan mereka yang merupakan golongan mampu.

Memang harus diakui kebiasaan memberikan subsidi terhadap BBM dan juga energi menyebabkan masyarakat kita amat boros. Karena BBM dan dianggap murah, maka kendaraan pun meningkat tajam. Demikian juga dengan penggunaan energi listrik. Meski kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sudah dilaksanakan, pemerintah akan kembali menaikkan TDL pada 1 September 2014 nanti.

Kali ini, biaya pemakaian listrik per 1 September 2014 bagi pelanggan yang memakai daya 1.300 VA ialah Rp 1.214 per kWH. Tarif ini lebih tinggi Rp 124 per kWH dari tarif yang berlaku saat ini. Sedangkan pelanggan dengan daya 2.200 VA dikenai tarif baru, yakni Rp 1.224 per kWh atau lebih mahal Rp 115 per kWh. Pelanggan yang memanfaatkan daya 3.500 VA hingga 5.500 VA akan dikenai biaya hingga Rp 1.279 per kWH atau selisih Rp 69 per kWh dari tarif lama yang hanya sebesar Rp 1.210 per kWh.

Dampak dari kebijakan subsidi adalah masyarakat terus menerus mengabaikan tanggungjawabnya. Kebijakan penghematan yang selama ini didengungkan pemerintah setidaknya sejak Kabinet Indonesia Bersatu II dibentuk, gagal sudah.

Masih ingat dengan rencana penghematan menggunakan penanda kendaraan? Itu juga sudah tidak terdengar kabarnya? Masih ingat dengan kebijakan pemerintah daerah DKI Jakarta soal pengendalian kendaraan berdasarkan nomor plat? Itu juga sudah tidak lagi dibicarakan.

Persoalannya ada pada kemauan pemerintah sendiri. Hidup semakin mahal. Itu pasti. APBN kita sama sekali tidak bisa bermanuver. Seperempat dari APBN hanya dibuang dengan cara yang tidak bertanggung-jawab sama sekali. Pemerintah tak bisa lagi mempertahankan upaya membangun jalan, mendirikan pelabuhan, bahkan membuat sentra-sentra perdagangan. Pemerintah juga tidak bisa membangun pertahanan kita sehingga lebih mandiri dan tidak bisa memberikan beasiswa kepada anak-anak kita untuk bersekolah tinggi-tinggi.

Uang Rp 1 triliun itu banyak. Apalagi Rp 360 triliun. Untuk menyekolahkan seorang doktor ke luar negeri hanya butuh Rp 2 miliar per orangnya. Untuk memerbaiki bangunan sekolah rusak, hanya butuh Rp 50 juta per kelasnya. Untuk membangun 1 km jalan tol dibutuhkan dana Rp 1 miliar. Coba dikalikan saja dengan uang yang menguap di kendaraan subsidi. Jika semuanya itu bisa digunakan untuk melaksanakan program-program alternatif di atas tadi, sungguh sangat bermanfaat uang subsidi tersebut.

Karena itulah pemerintah harus serius melaksanakan program-program penghematan ini. Ada kebiasaan buruk pemerintah yang selalu saja menjadi persoalan. Apa itu? Pemerintah menggunakan masalah subsidi ini menjadi masalah politik. Pemerintah ingin menggunakan subsidi ini sebagai alat politik menggapai pengaruhnya kepada masyarakat. Padahal sama sekali sudah tidak relevan menyogok masyarakat dengan subsidi.

Dulu kita pernah menaikkan harga BBM. Tetapi kemudian diturunkan kembali. Momentum mendidik masyarakat hilang. Kemudian pemerintah juga sudah memaksa supaya BPH Migas segera saja memaksa pencabutan subsidi solar. Namun kemudian uji coba hanya dilakukan di DKI Jakarta. Ini jelas merupakan kebijakan yang tidak serius.

Kita berharap gerakan membuat BBM dan energi mahal ini bisa mendidik masyarakat kita untuk berhemat. Di Asia Tenggara, kita tetap miskin tetapi memberikan subsidi. Paradigma ini harus diubah. (***)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru