Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 14 Juli 2025

Rekonstruksi Pemilu

- Kamis, 14 Agustus 2014 10:55 WIB
310 view
Rekonstruksi Pemilu
Panggung pengadilan Mahkamah Konstitusi dan sidang DKPP sesungguhnya adalah medium untuk menyaksikan demokrasi kita yang sesungguhnya. Kita menghormati pilihan pasangan Prabowo-Hatta untuk menggugat Pilpres 2014. Dengan cara demikian maka kita bisa merekonstruksi level demokrasi kita.
 
Pentas pengadilan MK kita memperlihatkan beberapa fakta menarik. Salah satu yang kini terungkap dan dibahas adalah sistem noken. Sistem yang hanya ada di Papua tersebut menarik karena menggunakan kearifan lokal untuk kemudian diadaptasikan ke dalam sistem demokrasi modern. Dengan cara itu maka dilakukan musyawarah untuk menentukan pilihan yang akan diambil.

Model ini jelas memberikan keuntungan karena keputusan adat tidak akan menyebabkan faksi di dalam kelompok tersebut. Putusan bersifat kolektif dan menjadi putusan bersama. Kesatuan kelompok pun tidak akan pecah hanya karena perbedaan pilihan politik.

Tetapi pertanyaannya adalah, apakah model tersebut memberikan hak konstitusi berbasis kepada warga negara? Meski sudah diakui oleh MK, apakah sistem noken kemudian dapat mengabaikan hak saksi, dan kemudian dapat menafikan hak demokrasi dan seluruh ketentuan administratif di dalamnya? Inilah yang harus dijadikan bahan diskusi dan kalau perlu polemik untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita.

Berikutnya yang menarik adalah pada penggunaan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) yang menurut kubu koalisi Merah Putih banyak disalahgunakan. Kita teringat pada Pemilu 2009 dimana sekitar 10 juta pemilih ternyata menurut para ahli adalah pemilih siluman. Kondisi yang lebih kurang sama terjadi kini.

Di atas kertas, jumlah surat suara untuk cadangan untuk dapat digunakan oleh DPKTb adalah dua persen. Tetapi nyatanya penggunaan ini ternyata sangat banyak. Ini memperlihatkan kepada kita bahwa Daftar Pemilih Tetap masih mengandung masalah. Kembali kepada proses Pemilu yang berhubungan dengan DPT, kita mengingat bahwa hal ini pernah menjadi polemik ketika finalisasi DPT hendak disahkan. Nyatanya  benar, DPT dan DPKTb adalah bom waktu.

Kita curiga sebenarnya kekacauan ini memang merupakan sebuah hal yang disengaja. Bagaimana mungkin sejak tahun 2004, kemudian 2009, lalu kini 2014, pemutakhiran data pemilih tidak dilangsungkan dengan sungguh-sungguh, terutama ketika pemerintah memberikan data tersebut kepada KPU untuk kemudian dikoreksi. Jangan-jangan ini merupakan unsur kesengajaan dalam rangka memenangkan pihak-pihak tertentu? Inilah yang hendak kita uji dan saksikan di MK, untuk kemudian kita harapkan ada perbaikan.

Di pentas DKPP kita juga menyaksikan bagaimana para penyelenggara negara berperan dengan sangat tidak profesional. Rekap 100 DPT yang rasanya mustahil, masih terjadi, salah satunya di Kabupaten Nias Selatan. Apapun motifnya, kita percaya bahwa hal ini telah menciderai proses yang seharusnya jujur tadi.

Maka tidak heran jika proses Pileg yang lalu penuh dengan gugatan. Kabar yang beredar memang menyebutkan bahwa kecurangan tersebut bukan hanya dilakukan oleh peserta pemilu melainkan juga oleh para penyelenggara pemilu sendiri. DKPP telah memecat puluhan penyelenggara Pemilu. Ini memperlihatkan bahwa cacat bawaan Pemilu memang turut dilanggengkan oleh mentalitas para penyelenggaranya.

Kita beruntung jika MK menyidangkan perkara ini secara terbuka. Tidak perduli siapapun yang menang. Yang penting pembelajaran demokrasi kita terbuka lebar di depan mata. (***)
   

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru