Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 14 Juli 2025

Menteri Tanpa Afiliasi

- Selasa, 26 Agustus 2014 10:06 WIB
210 view
 Menteri Tanpa Afiliasi
Jabatan menteri kini sedang diperdebatkan. Pasca pengumuman MK mengenai keabsahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, usulan mengenai jabatan menteri ini mencuat kencang ke permukaan.

Tak urung persoalan ini dipicu oleh lagu lama kekuasaan, yaitu soal jatah-jatahan. Pendukung pasangan tersebut jelas ingin mendapatkan jatah berupa kursi menteri. Sementara itu, meski malu-malu, parpol yang sebelumnya tidak mendukung pastilah mengharapkan kursi menteri jika memutuskan untuk mengalihkan dukungan kepada presiden dan wakil presiden terpilih.

Kita sepakat bahwa urusan menteri (baca: memerintah) ini memang urusan kekuasaan. Dan parpol kita amat paham mengenai bagaimana menggunakan kedudukan tersebut sebagai alat meraih popularitas dan jangan lupa satu hal lain: uang. Harus kita ingatkan kembali bahwa jabatan-jabatan menteri memang rentan dengan penyimpangan.

Korupsi yang terjadi dan dilakukan di kementerian amat lekat dengan orangnya parpol. Secara khusus di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini, dua menteri yang sudah masuk bui adalah dari parpol dan satu menteri yang sudah ditetapkan oleh KPK juga adalah dari parpol. Ini berarti godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan memang sangat jelas dan menyebabkan para menteri dari parpol terperosok di dalamnya.

Salah satu penyebabnya adalah adanya perilaku menjual pengaruh. Di atas kertas, seperti tidak ada perilaku korupsi. Tetapi mereka yang merupakan kader parpol biasanya memiliki kedekatan dengan pihak lain dari parpol yang sama, yang bisa saja kemudian mengatur pihak swasta untuk melakukan tindakan suap kepada menteri yang bersangkutan. Itulah modus yang kita lihat dari keberadaan para menteri dari parpol. Keberadaan mereka justru menjadi pintu masuk bagi orang parpol semisal Nazarudin dan Fathana untuk mempengaruhi keputusan mengenai sebuah kebijakan pemerintah.

Kriteria mengenai jabatan menteri ini memang sedang ramai dibahas. Tak urung sempat ada isu bahwa Jokowi dan Jusuf Kalla berseberangan pendapat mengenai hal ini. Jokowi dalam berulang kali kesempatan menyampaikan bahwa menteri di pemerintahannya harus melepaskan jabatan di parpol. Demikian juga dengan ketua umum parpol pendukung, tidak akan dijadikan menterinya. Tetapi Jusuf Kalla kabarnya tidak setuju. Jusuf Kalla berpendapat bahwa mereka yang memang berkualitas meski dari parpol bisa saja menjadi menteri di pemerintahan mereka.

Harus diakui bahwa tancapan perilaku berkorupsi amat lekat di kita. Tidak hanya karena jabatan menteri, tetapi bahkan karena hubungan persaudaraan, korupsi bisa terjadi. Kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Banten misalnya, menggurita kepada saudara-saudaranya. Kasus suap yang melibatkan Akil Mochtar, melebar dan memakan korban para kepala daerah yang notabene tidak memiliki afiliasi dengan mantan politisi Partai Golkar tersebut.

Itu berarti bahwa perilaku korupsi tidak mengenai hubungan. Bahkan hubungan bisa terbentuk dengan adanya keinginan yang sama. Tetapi yang harus dimengerti adalah bahwa semakin minim hubungan dengan pihak lain, maka semakin rendah kemungkinan melakukan korupsi. Pada titik ini kita setuju bahwa menteri harus melepaskan jabatan dari parpol. Jika seorang menteri diganggu-katakanlah bukan dari dirinya sendiri-oleh pihak-pihak yang ingin mendesakkan kepentingannya, maka ia bisa kehilangan fokus pada pekerjaannya.

Tentu saja sudah ada banyak model sebenarnya di dalam memutus hubungan dengan kelompok yang bisa saja menggoda ini. Para pimpinan KPK kabarnya tidak boleh berkomunikasi lagi dengan sembarang orang. Jika mereka bisa, maka model menteri tanpa afiliasi bukan sebuah kemustahilan. (***)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru