Beberapa hari ini, masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan BBM. Antrean panjang mengular di banyak SPBU. Bahkan di tingkat pengecer, harganya berlipat-lipat. Ada apa?
Pasca pembatasan BBM bersubsidi, utamanya solar, pemerintah memang sedang melakukan pembatasan kuota. Masing-masing SPBU dikurangi stoknya. Tujuannya adalah untuk mengendalikan penggunaan BBM pada tingkat penjual. Pemerintah mengakui hal itu.
Sebagaimana diungkapkan Menteri ESDM Jero Wacik, kelangkaan BBM merupakan dampak dari upaya pemerintah mengendalikan kuota BBM sehingga mencukupi sampai dengan akhir tahun. Sebagaimana diketahui, kuota BBM yang disepakati bersama dengan DPR adalah 46 juta kiloliter, turun 2 juta kiloliter.
Hal senada diungkapkan oleh BPH Migas. BPH Migas yang menyatakan, BBM kini sedang dikendalikan sehingga bisa mencukupi kebutuhan sampai akhir tahun ini. Besaran pengurangan itu, menurut Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, adalah sebesar 5 persen. Dengan demikian, maka wajar terjadi kelangkaaan, meski sebenarnya yang terjadi bukanlah kelangkaan dalam arti yang sesungguhnya. Sebab menurut Pertamina, yang terjadi adalah "panic buying". Masyarakat mengira telah terjadi kelangkaan sehingga kemudian ramai-ramai antre membeli BBM.
Sementara itu, Jusuf Kalla, Wakil Presiden terpilih yang akan mendampingi Presiden Joko Widodo menyatakan, kelangkaan BBM bersubsidi di sejumlah daerah merupakan dampak dari sifat boros masyarakat sendiri. Konsumsi BBM ini boros karena harga murah akibat diberi subsidi ratusan triliun rupiah per tahun.
Memang, dalam RAPBN 2015, anggaran untuk belanja subsidi energi adalah Rp 291,1 triliun. Jumlah itu meningkat dari alokasi APBN perubahan 2014 sebesar Rp 246,5 triliun. Presiden terpilih Joko Widodo punya penilaian tersendiri bahwa subsidi tersebut terlalu besar sehingga berisiko membebani APBN. Seandainya anggaran subsidi ditekan, akan ada ruang fiskal yang lebih besar untuk program kerja lain.
Persoalan BBM ini memang menjadi persoalan besar. Akibat kebijakan pembatasan ini, masyarakat bukannya lebih tenang dan memilih untuk menggunakan BBM non-subsidi, justru sebaliknya masyarakat terus berusaha untuk mendapatkan BBM yang lebih murah, yang notabene adalah BBM bersubsidi.
Sepanjang terjadi disparitas harga antara non subsidi dan subsidi, maka sepanjang itulah akan terus terjadi permintaan, berapapun risiko yang ditempuh. Itulah prinsip yang terjadi di masyarakat dan menurut kita yang menjadi penyebab relanya masyarakat antre berjam-jam.
Kebijakan pembatasan hanya akan menciptakan kepanikan, dan itu sudah diakui sendiri oleh pemerintah. Kita kuatir kepanikan ini malah menimbulkan gejolak sosial. Belum lagi pada dampak ekonomi yang ditimbulkannya karena masyarakat harus mengurangi aktivitasnya. Ini terjadi pada para nelayan yang menggunakan solar atau kendaraan umum yang menggunakan premium.
Memang ada satu ide yang baik dan akan segera dibahas antara Presiden SBY dengan Presiden terpilih Joko Widodo. Ide itu adalah segera menaikkan harga BBM. Presiden SBY diminta legowo dan memerlihatkan perilaku kenegarawannya. Tidak ada lagi kepentingan politik jika Presiden SBY harus menaikkan harga BBM di ujung pemerintahannya ini.
Keputusan memang harus diambil dengan cepat oleh pemerintah sebelum keadaan semakin memburuk.
(***)