Bencana nasional non alam, pandemi virus corona (Covid-19) telah menimbulkan dampak dan kekhawatiran mendalam bagi masyarakat. Di samping penderita (pasien) yang terus meningkat khususnya di Medan dan Sumut, dampaknya pun semakin meluas ke berbagai sektor dan jumlah masyarakat yang terdampak pun terus meningkat.
Dalam situasi pandemi ini kita memang patut mengapresiasi tingginya solidaritas sesama masyarakat yang saling membantu yang terdampak. Mulai dari perkumpulan marga, organisasi massa, partai, rumah ibadah, perusahaan, dan sesama masyarakat berlomba-lomba mengumpulkan dan menyalurkan bantuan bagi masyarakat terdampak. Meskipun masih ada yang mengeluh belum mendapat bantuan sosial dari pemerintah tetapi belum pernah terdengar ada masyarakat kelaparan akibat pandemi ini.
Selain itu bantuan pemerintah juga tergolong banyak menjangkau masyarakat. Baik pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial, Kementerian Pedesaan, Kementerian Tenaga Kerja maupun pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Namun di beberapa daerah terasa ada aroma yang kurang menyenangkan karena bantuan pemerintah itu terasa dimanfaatkan untuk kepentingan kepala daerah yang mau maju pada Pilkada serentak yang dijadwalkan berlangsung Desember 2020 mendatang.
Sebagaimana diketahui, secara nasional ada 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak tahun ini, terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Khusus di Sumut ada 23 kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada serentak.
Di antara kepala daerah kabupaten/kota tersebut terdapat beberapa yang baru menjabat satu periode. Sehingga kemungkinan besar mereka akan maju kembali sebagai calon untuk periode kedua. Beberapa di antaranya adalah Bupati Toba, Samosir, P Siantar, Karo, Humbang Hasundutan, Medan, Sergai, dan lainnya.
Berbagai cara mereka lakukan untuk lebih menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat pemilih. Bahkan ada di antara mereka yang terkesan memanfaatkan bencana Covid-19 ini menjadi ajang kampanye terselubung untuk mempengaruhi masyarakat pemilih.
Mereka menggunakan bantuan pemerintah menjadi ajang kampanye seolah-olah bantuan itu usaha mereka dan dari mereka sendiri. Bahkan mereka tega memampangkan foto dan nama mereka langsung di kemasan bantuan seperti sembako, bibit tanaman dan bantuan lainnya hanya untuk menunjukkan bahwa mereka sepertinya peduli kepada masyarakat.
Secara hukum memang tidak ada aturan yang melarang pencantuman foto dan nama kepala daerah di kemasan bantuan pemerintah daerah yang disampaikan kepada masyarakat. Apalagi mereka masih resmi menjabat.Tetapi dari segi kepatutan dan etika, harusnya ada rasa malu karena bantuan yang disalurkan itu dibiayai dari APBD maupun APBN. Apalagi mereka sudah menyatakan akan maju dalam pilkada mendatang sehingga masyarakat mudah membaca maksud dan tujuan mereka.
Lain halnya jika bantuan itu dari dana mereka pribadi, tidak ada salahnya jika menempelkan foto mereka besar-besar. Meskipun dalam ajaran agama membantu itu lebih berpahala jika pemberi bantuan tidak menunjukkan identitasnya.
Bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa selama ini proses pilkada menyita dana yang sangat besar dan selalu beraroma "money politics", tidak terlihat tapi terasa aromanya. Tidak saja anggaran pilkada sangat membebani dana daerah tetapi juga dana pribadi para calon kepala daerah. Sehingga setiap pilkada dianggap sebagai waktunya pesta rakyat dengan taburan uang.
Diduga karena besarnya biaya kampanye para calon ini, maka penyaluran bantuan pemerintah di tengah Covid-19 ini memberi peluang bagi mereka memanfaatkannya jadi ajang kampanye gratis. Namun kita yakin masyarakat sudah pintar dan bijak mengenal siapa pemimpinnya yang betul-betul pro rakyat. Sehingga calon yang memanfaatkan kesempatan kampanye di atas penderitaan rakyat akibat bencana ini jangan terlalu banyak berharap. Namun calon yang ikhlas membantu masyarakat dengan dananya sendiri pasti akan mendapat simpati dari rakyat. (*)