Covid-19 yang sudah menyebar sejak beberapa bulan ini memang sangat menjengkelkan. Menjengkelkan bagi pemerintah dan masyarakat karena telah merusak kesehatan, ekonomi, sosial budaya, ibadah, pembangunan dan merusak mata pencaharian.
Pemerintah telah berupaya keras menangani dampaknya termasuk mencegah penularannya, namun di sebagian daerah penderitanya bukannya semakin menurun malah terus bertambah. Sampai Senin kemarin sudah 55.092 kasus positif Covid-19 di Indonesia dan tercatat "juara" nya yang terbanyak ada di Jawa Timur, DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan. Sehingga Presiden Jokowi memberi waktu 2 minggu kepada Gubernur Jawa Timur untuk menurunkan angka positif Covid-19.
Bagi Presiden Jokowi yang menjengkelkan bukan lagi hanya Covid-19 tetapi penanganannya yang dinilainya kurang serius. Jengkel karena kinerja dan kebijakan instansi dan kepala daerah yang menangani dinilai masih datar-datar saja. Padahal serangannya sudah luar biasa maka perlu terobosan. Jokowi minta agar ditangani secara luar biasa (extra ordinary).
Anehnya, meskipun yang terinfeksi dan penyebarannya terus meningkat tetapi masyarakat juga masih banyak yang merasa apa yang terjadi saat ini biasa-biasa saja. Hal ini sangat berbahaya karena secara tidak sadar bisa mempercepat penularannya.
Hal yang paling banyak disoroti akhir-akhir ini memang menyangkut penyaluran bantuan sosial dan bantuan kesehatan yang masih tersendat-sendat. Maunya Jokowi, ada kebijakan yang cepat dan tepat agar bantuan itu segera disalurkan. Jangan tunggu mati dulu rakyatnya, baru bantuan disalurkan, sama saja tidak ada artinya.
Demikian juga insentif para dokter spesialis, dokter umum dan paramedis yang sudah mempertaruhkan nyawa menangani pasien Covid-19 juga masih tersendat-sendat. Mereka harus meninggalkan keluarganya untuk menangani pasien Covid-19, bahkan ada yang sampai tertular dan meninggal dunia. Mereka sangat membutuhkan honor itu dan pemerintah sudah menyediakan anggarannya. Kenapa tidak segera disalurkan?
Demikian juga alat pelindung diri berupa masker dan alat kesehatan lainnya segeralah dikirimkan apabila daerah kekurangan.
Gunakan anggaran yang ada. Jangan sampai anggaran yang sudah ada tidak digunakan, padahal masyarakat membutuhkan.
Bagaimana pasien Covid-19 berkurang kalau alat pelindung diri tidak disalurkan? Bukankah itu menjengkelkan?
Presiden kelihatannya tidak main-main dan menegaskan akan melakukan kebijakan yang extra ordinary. Bila perlu menerbitkan Perpu, membubarkan dan meresuffle kabinet demi keselamatan 267 juta jiwa rakyat Indonesia. Inilah yang kita tunggu, kebijakan luar biasa dari Jokowi.
Sesuai data-data yang ada, memang penggunaan anggaran penanganan Covid-19 di beberapa instansi dan daerah masih minim. Belum diketahui apa penyebabnya. Mungkin saja karena kehati-hatian karena takut terjerat KPK atau bisa saja karena birokrasi yang bertele-tele dan berbelit-belit. Namun bisa juga karena penerapan kebijakan yang sama seperti masa normal. Menurut Jokowi hal inilah yang harus diterobos sehingga bisa lancar. Jangan sampai ditunggu-tunggu, bila perlu jemput bola agar semua berjalan cepat dan lancar.
Demikian halnya dalam penyaluran bantuan sosial pusat maupun daerah masih banyak kerumitan, khususnya dalam pendataan yang kurang akurat. Hal ini terlihat dari banyaknya pengaduan yang diterima Ombudsman RI khusus selama wabah Covid-19. Terhitung 29 April 2020 hingga 3 Juni 2020, Ombudsman telah menerima 1.004 aduan/laporan. Sejumlah 817 pengaduan (81,37%) terkait penyaluran bansos.
Dilaporkan bantuan tidak merata, baik dalam hal waktu penyaluran, sasaran/masyarakat penerima maupun wilayah distribusi. Juga ketidakjelasan prosedur dan persyaratan untuk menerima bantuan. Kemudian masyarakat yang kondisinya lebih darurat lapar tidak terdaftar dan sebaliknya ada yang terdaftar tapi tidak menerima bantuan dan ada yang tidak dapat menerima bantuan di tempat tinggalnya karena KTP pendatang. Akibatnya bantuan tersendat dan banyak masyarakat yang demo, bahkan berujung rusuh seperti yang terjadi di Madina, Senin kemarin.
Mengingat bansos ini akan diperpanjang hingga Desember 2020, maka disarankan ada sinkronisasi data antara pusat dan daerah. Jika tidak memungkinkan sinkronisasi melalui e-KTP secara penuh, maka bisa juga dilakukan secara manual oleh aparat desa/kelurahan. Sehingga bantuan bisa tepat sasaran tanpa ada yang tertinggal. Kini tinggal kemauan, kerja keras, kejujuran dan keiklasan aparat sehingga tidak sampai menjengkelkan bagi masyarakat. (*)