Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Menimbang Untung Rugi Rapid Test

Redaksi - Kamis, 09 Juli 2020 11:49 WIB
473 view
Menimbang Untung Rugi Rapid Test
majalah.tempo.co
Ilustrasi rapid test
Rapid test untuk mengetahui keberadaan virus cirona (Covid-19) di tubuh manusia mendapat banyak penolakan masyarakat, termasuk para pakar kesehatan. Padahal Presiden Joko Widodo menginstruksikan untuk melakukan rapid test, khususnya di beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki kasus Covid-19 tinggi.

Tes ini ditujukan agar pemerintah dan petugas kesehatan bisa mengetahui siapa saja orang yang berpotensi menyebarkan virus corona dan melakukan tindakan pencegahan agar jumlah kasus Covid-19 tidak semakin bertambah.

Namun masyarakat di beberapa daerah Indonesia menolak rapid test. Bahkan di Makassar, Ambon, Kediri dan banyak daerah lainnya masyarakat terang-terangan protes menolak kedatangan tim medis dengan memblokade jalan, pasang spanduk dan lainnya. Alasannya, mereka dalam kondisi sehat-sehat saja dan takut tertular virus berbahaya itu bila dilakukan rapid test.

Bahkan yang lebih miris, masyarakat menganggap, dengan rapid test bisa saja dinyatakan positif dan langsung dibawa ke rumah sakit. Akhirnya nyawa tak terselamatkan, dan dikebumikan dengan protokol Covid-19. Ini yang menjadi penyebab ketakutan masyarakat bila rapid test. Sementara itu menurut pengamat, ketakutan masyarakat akibat info yang simpang siur, tidak jelas, bahkan hoax atas rapid test tersebut.

Lalu berita terkini, beberapa pakar kesehatan juga menolak rapid test.
Bahkan pakar epidemiologi Pandu Rionoangkat menyatakan, rapid test mesti dihentikan secepatnya.
Menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), rapid test sangat tidak akurat dan tidak bisa menjadi acuan.

"Yang dites itu antibodi. Antibodi itu artinya respons tubuh terhadap adanya virus. Itu terbentuk seminggu atau beberapa hari setelah terinfeksi. Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berati bisa infeksius," kata Pandu.

Dengan maraknya fenomena rapid test, terang Pandu, terjadilah komersialisasi. Salah satunya ketika rapid test menjadi syarat seseorang sebelum boleh menggunakan transportasi pesawat ataupun kereta api. Padahal, menurutnya, rapid test belum dijamin akurasinya.

Pendapat pakar ini sepertinya selaras dengan kondisi di lapangan. Karena saat ini rapid test dikomersialisasi dan jadi ajang bisnis di tengah masyarakat. Selain wajib rapid test untuk pengguna transportasi udara, kereta api dan lainnya, beberapa instansi pemerintah dan BUMN juga membuat aturan wajib rapid test dalam seleksi penerimaan karyawan.

Bahkan sangat disayangkan, peserta seleksi langsung gugur bila hasil rapid testnya reaktif. Padahal, seperti dikatakan pakar, keakuratannya tidak bisa dijamin.

Tindakan ini sudah melanggar hak azasi dan perlu segera dihentikan.
Di sini, dalam kondisi pandemi Covid-19, sebuah rapid test sudah menjadi alat atau seperti sebuah azas pemanfaatan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan. Karena bisa saja hasil rapid test digunakan untuk menekan atau menyingkirkan seseorang supaya tidak lulus seleksi atau lainnya.

Belum lagi menyangkut soal harga atau biaya. Banyak yang tidak sama dalam menentukan harga sekali rapid test untuk setiap orang. Tes di rumah sakit dengan di bandara misalnya, perbedaannya bisa mencapai 30%. Kemudian ada lagi kabar yang menyatakan, banyak beredar di pasaran rapid test palsu.

Kondisi seperti ini seharusnya bisa jadi bahan pertimbangan pemerintah apakah melanjutkan atau menghentikan rapid test Covid-19. Bisa dilihat mana yang lebih besar manfaat atau mudaratnya.

Segera manfaatkan test yang akurat.
PCR atau polymerase chain reaction adalah pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus. Saat ini, PCR juga digunakan untuk mendiagnosis Covid-19, yaitu dengan mendeteksi material genetik virus corona. Alat ini memang mahal, tapi hasilnya sangat akurat.

Menggunakan alat berkualitas dan mahal sepertinya lebih baik daripada yang murah tapi menimbulkan banyak masalah. Lebih baik berkorban banyak tapi bermanfaat besar, dibanding berkorban sedikit namun merugi besar. (***)

SHARE:
komentar
beritaTerbaru