Penyaluran bantuan sosial (bansos) bagi warga terdampak pandemi Covid-19 masih menimbulkan persoalan hingga kini. Padahal penyaluran bansos akan terus berlangsung hingga kondisi pandemi benar-benar bisa ditanggulangi.
Keluhan masyarakat terus mengalir dari mana saja, baik lewat media massa seperti surat kabar, televisi, radio, berita online, media sosial maupun sumber-sumber lain, termasuk dari mulut ke mulut antar-warga. Bahkan berbagai aduan terkait bansos disampaikan warga juga secara resmi kepada Ombudsman RI yang membuka pengaduan khusus warga terdampak Covid-19 sejak 29 April 2020.
Ombudsman mencatat, sejak 29 April hingga 29 Mei, ada 817 aduan warga yang berkaitan dengan bansos dari total 1.004 pengaduan yang masuk.
Sementara itu KPK menerima 621 keluhan soal penyaluran bansos tersebut. Keluhan disampaikan masyarakat melalui aplikasi JAGA Bansos. Hingga 3 Juli 2020, diterima total 621 keluhan. Plt Jubir KPK Ipi Maryati mengungkap, aplikasi pertama kali diluncurkan pada Mei 2020.
Aduan warga antara lain terkait soal penyaluran bantuan yang tidak merata dan prosedur penerimaan bantuan yang tidak jelas. Selain itu, banyak warga terdaftar yang tidak menerima bantuan. Beberapa warga juga mengalami kesulitan mendapatkan bantuan karena tidak memiliki KTP setempat.
Bahkan lebih parahnya lagi, Ombudsman RI menemukan adanya dugaan manipulasi data penerima bansos.Temuan kasus itu terjadi di Jambi dan Papua.
Manipulasi data tersebut tidak hanya mengurangi atau menambah jumlah penerima bantuan sosial, tetapi juga mengganti nama penerima yang asli dengan penerima lain yang justru tidak tepat sasaran.
Ketua Ombudsman Amzulian Rifai juga mengungkap, Ombudsman menerima laporan adanya pemotongan nominal jumlah bansos yang dilakukan oknum yang tidak bertanggungjawab. Laporan pemotongan jumlah bansos tersebut terjadi di Sulawesi Barat.
Pemotongan jumlah bantuan sosial yang awalnya Rp 600.000 menjadi Rp 300.000, kata Rifai.
Melihat kondisi ini seharusnya pemerintah cepat mengevaluasi tata cara penyaluran bansos ke masyarakat. Salah satunya dengan menggantikan bantuan sembako dengan uang tunai, agar tidak ada lagi manipulasi timbangan dan persekongkolan harga. Lagi pula, dengan uang tunai penyalurannya bisa lebih cepat dan hemat biaya.
Kemudian terkait penyaluran yang tidak tepat sasaran, pemerintah harus menanggapi aduan masyarakat dengan mengecek kebenaran di lapangan. Segera ambil tindakan bila si penerima bukanlah orang yang berhak. Supaya ada rasa malu bagi masyarakat untuk tidak mengambil bagian yang bukan haknya.
Bagi yang memanipulasi data, jangan lagi diberi ampun. Lakukan tindakan hukum yang tegas dan publikasi atau pampangkan nama-nama pelaku agar menjadi efek jera untuk yang lain.
Ketua KPK pernah menyatakan akan menghukum seberat-beratnya pelaku curang terhadap bantuan Covid-19. Dalam hal ini KPK harus membuktikan dengan tindakan nyata karena ratusan pengaduan masyarakat itu bukan main-main. Tidak mungkin ada asap kalau tak ada api.
Kondisi keprihatinan di tengah pandemi Covid-19 sebaiknya dijadikan momen yang tepat untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Pelaku korupsi dana bencana memang benar-benar sudah tidak punya rasa kemanusiaan lagi, sehingga sangat layak untuk dihukum seberat-beratnya. Tindakan hukuman berat juga agar aparat dan masyarakat tidak bisa lagi bermain-main dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Namun sayangnya, hingga saat ini pemberitaan ditangkap atau dihukumnya pelaku korupsi bansos terdampak Covid sangat minim.
Tidak seimbang dengan banyaknya jumlah pengaduan masyarakat. Sehingga masyarakat bertanya-tanya, apakah aparat lambat bertindak atau laporan pengaduan yang tak terbukti. Untuk ini pemerintah diminta transparan dan mendorong tindakan hukum yang nyata. Supaya harapan Indonesia bebas korupsi, setelah berakhirnya era pandemi, bisa terwujud. (***)