Upaya pemerintah (eksekutif) menangani korupsi melalui aparat yang ada kelihatannya belum memadai. Beberapa lembaga sudah dilibatkan dalam menangani tindak pidana korupsi, yaitu Kejaksaan, Kepolisian dan terakhir telah dibentuk lembaga khusus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Yang terjadi, korupsi masih tetap marak. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, koruptor kakap yang sudah buronan pun masih bisa bebas berkeliaran di negara ini. Masuk lewat pintu resmi dan berurusan dengan petugas dan membuat identitas dirinya dan urusan lainnya juga berlangsung cepat. Begitu sudah viral, rupanya buronan tersebut sudah berada di luar negeri, akhirnya menjadi geli melihatnya.
Sesuai catatan ICW (Indonesia Corruption Watch), sejak 2001 hingga 2011 ada 45 orang koruptor skala besar alias "kelas ikan paus" yang kabur ke luar negeri. Mereka seperti hilang ditelan bumi dan kasusnya pun seperti tenggelam, ada yang masih terduga, tersangka, terdakwa dan terpidana.
Sampai saat ini mereka masih bebas berkeliaran, bahkan mungkin sudah mengganti identitasnya sehingga sulit dilacak. Padahal pintu keluar dari negara ini sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan canggih, sehingga meskipun mengganti identitas seharusnya bisa tetap terlacak Kenyataannya mereka bisa keluar masuk, tentu ada kerjasama yang rapi dengan aparat terkait.
Syukurlah baru-baru ini salah seorang buronan tersangka kasus pembobolan BNI Rp1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa berhasil dipulangkan dari Serbia setelah 17 tahun buron. Namun tak lama berselang setelah pemulangan itu, wajah aparat kita kembali tercoreng dengan mudahnya terpidana korupsi kasus Bank Bali Djoko Tjandra yang sudah lama di cari-cari, diyakini berada di Indonesia dan membuat KTP elektronik di Jakarta tanpa sedikitpun terpantau aparat.
Kemungkinan atas dua kejadian menarik terkait dengan buronan kakap itulah yang membuat pemerintah gerah dan ingin segera mengejar dan menyeret para koruptor yang merugikan keuangan negara ini ke penjara. Sehingga Tim Pemburu Koruptor yang sudah dibentuk di masa Presiden SBY akan diaktifkan kembali meskipun lembaga itu dulunya tidak optimal memburu koruptor.
Terasa memang, pemerintah dan aparat penegak hukum akhir-akhir ini semakin sibuk. Selain mengurusi kasus-kasus korupsi lama yang belum tuntas juga mengurusi kasus baru terkait dengan penyelewengan bantuan sosial terkait dengan Covid-19. Sehingga Menko Polhukam Mahfud MD merasa perlu mengaktifkan kembali tim itu, yang juga melibatkan aparat penegak hukum lintas instansi sehingga semua kasus korupsi tidak ada yang tertinggal.
Selain buronan kasus-kasus besar yang lolos, diharapkan pemerintah juga jangan mengabaikan kasus-kasus penyelewengan bantuan sosial yang marak di masa Covid-19 ini. Polri sudah memaparkan data sebagaimana diberitakan harian ini, Rabu (15/07/2020), ada 55 kasus penyelewengan Bansos yang sedang ditangani di 12 provinsi. Sumut menjadi "juara" dengan 31 kasus (lebih separuh).
Selain temuan Polri, lembaga lain juga banyak menerima pengaduan penyelewengan bantuan sosial tersebut. Seperti ombudsman, dalam 2 bulan sudah menerima 1.330 keluhan penyaluran Bansos, KPK 303 laporan, serta Kejaksaan. Semuanya membutuhkan penanganan segera, mengingat penyaluran sosial masih akan terus berlanjut sebagaimana sudah diprogramkan pemerintah.
Tak terbayangkan memang kalau bantuan untuk masyarakat miskin dan pengangguran (PHK) terdampak Covid-19 masih tega menyunatnya. Jumlahnya memang tidak sebesar uang negara yang dicuri para koruptor besar itu, tetapi dampak bantuan sosial ini sangat luas bagi masyarakat.
Oleh sebab itu bagi pelaku yang sampai hati menyelewengkan bantuan sosial ini juga harus dihukum berat hingga hukum mati seperti yang disampaikan KPK. Namun sejauh ini belum ada pelaku yang dihukum, masih dalam tahap pengusutan dan penyidikan.
Ke depan kita harapkan upaya yang dilakukan pemerintah dan KPK mengejar buronan koruptor kakap dan koruptor dana bantuan sosial ini dapat berhasil sehingga pemerintah tidak sampai kehilangan kepercayaan dari masyarakat. (*)