Pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak luar biasa dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat. Dunia pun diramalkan bakal resesi dan sudah terbukti salah satu negara maju tetangga kita Singapura dikabarkan sudah resesi ekonomi. Akibatnya, rakyat miskin pun bakal bertambah banyak karena terkena PHK dan semakin sulit mencari nafkah.
Bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga hampir di seluruh dunia. Juga bukan hanya dialami negara berkembang tetapi juga negara-negara maju. Hampir semuanya mengalami pertumbuhan ekonomi minus. Sehingga upaya yang dilakukan saat ini bukan lagi mengejar pertumbuhan ekonomi yang positif tetapi bagaimana mempertahankan kondisi yang ada supaya jangan semakin terpuruk.
Bank Dunia memprediksi, akibat pandemi ini akan ada 5,5-8 juta rakyat Indonesia yang jatuh dalam kemiskinan. Prediksi ini juga sudah mulai menjadi kenyataan di Sumut. BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat dalam 6 bulan terakhir (September 2019-Maret 2020) angka kemiskinan Sumut meningkat 0,12 poin, atau setara 23.000 jiwa.
Pemerintah tentu saja tidak akan membiarkan kemerosotan ini terus terjadi. Mau tidak mau kegiatan ekonomi harus dibuka kembali. Namun saatnya tegas untuk memastikan bahwa masyarakat wajib beradaptasi dengan Covid-19 dengan disiplin mematuhi protokol kesehatan yang ada.
Pemerintah pusat pun sudah berupaya sekuat tenaga mencegah kemerosotan ini dengan mendorong percepatan belanja modal. Sayangnya apa yang sudah dicanangkan pusat untuk menggerakkan roda perekonomian ini belum bisa direalisasikan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Presiden Jokowi sudah mengeluhkan lambatnya penyerapan anggaran, baik di kementerian maupun di daerah. Padahal masyarakat sangat membutuhkan perputaran uang yang sudah dianggarkan untuk mendorong konsumsi rakyat.
Semester I sudah berlalu, tetapi anehnya dana yang sudah ada pun ternyata masih diendapkan di bank. Sampai saat ini ada Rp 170 triliun dana provinsi dari pusat yang mengendap di bank. Belum ada satupun provinsi yang menyerap dana pusat di atas 50 persen. Termasuk Provinsi Sumatera Utara, penggunaannya baru 25 persen. Apa pemerintah provinsi sengaja menunggu agar dapat bunga uang dulu tanpa perlu kerja?.
Di satu sisi memang Pemprov tidak bisa terlalu disalahkan karena penggunaan anggaran itu sudah ada sistemnya, termasuk proses pelelangannya. Hal itulah biasanya penyebab keterlambatannya, di samping sumber daya manusia pengelola anggaran yang kurang cakap dan bijak. Mereka lebih banyak dibayangi ketakutan dituding korupsi. Apalagi dalam proses pelelangan proyek sering ada intervensi yang berakibat memperlambat penyerapan anggaran.
Dalam situasi pandemi saat ini, harusnya Gubernur dan aparat di bawahnya sudah siap dengan terobosan baru untuk mempercepat proses penyerapan anggaran. Bila perlu gandeng KPK, BPK, BPKP, Kejaksaan, Kepolisian dan wartawan untuk ikut mengawasi proses pelelangan hingga pelaksanaannya di lapangan bisa cepat.
Namun kelihatannya para petinggi provinsi tidak akan mampu membuat terobosan karena diduga mereka juga punya kepentingan pribadi dan kelompok dalam penggunaan anggaran itu. Sebelum mereka terpilih diduga sudah ada deal-deal terkait penggunaan anggaran itu, sehingga sulit bagi mereka untuk melakukan proses lelang secara transparan untuk memilih pelaksana yang profesional.
Akibatnya kepentingan masyarakat sering terabaikan dan upaya pemerintah dalam mendorong konsumsi rakyat terhambat karena penggunaan anggaran lambat. Dampaknya, setelah di akhir tahun sisa lebih penggunaan anggaran (SiLPA) membesar. Hampir setiap tahun hal ini terjadi. Dana sudah ada, tetapi dengan berbagai alasan tidak dapat digunakan untuk pembangunan. Akibatnya, dana dari pusat di tahun berikutnya semakin menurun.
Seperti kota Medan saat ini yang pembangunan jalan dan fasilitas umum sangat minim sehingga tampak seperti "kota tertinggal". Padahal anggaran ada, bahkan tahun lalu SiLPA kota Medan mencapai Rp 506,65 miliar lebih. Tidak terpakai diduga karena ketidakcakapan SDM pengelolanya, sungguh memprihatinkan.
Apa para petinggi pemerintahan di daerah ini tidak merasa berdosa membiarkan anggaran pembangunan yang ada tidak terpakai karena ketidakcakapan SDM nya? Sistem bisa diperbaiki, sumber daya manusia yang tidak cakap bisa diganti, tetapi kalau sudah kepentingan bicara maka rakyatlah yang akan jadi korban.