Tahun ini Negara Republik Indonesia akan memasuki usianya yang ke-75 tahun. Sudah 7 presiden memimpin negara ini, mulai dari kepemimpinan Soekarno-Hatta sebagai presiden-wakil presiden pertama, Soeharto, BJ Habibie, Abdulrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai presiden ke tujuh saat ini.
Dalam usia negara yang sudah tergolong tua, banyak sudah perubahan yang terjadi. Baik dalam pembangunan fisik, sumber daya manusia, teknologi, ekonomi dan sektor-sektor lainnya hingga negara ini ditargetkan akan menjadi Indonesia emas pada tahun 2045 atau 25 tahun mendatang.
Namun banyak pihak yang meragukan apakah sasaran itu bakal dapat dicapai. Apalagi dengan merebaknya wabah Covid-19 telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi minus bahkan diramalkan bakal mengalami resesi, sehingga target pertumbuhan ekonomi itu bakal mundur.
Di situasi demikian bahkan masih banyak oknum pemerintah tega menyalahgunakan kewenangannya hingga menimbulkan penyelewengan bantuan sosial untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Demikian halnya penegak hukum juga masih ada yang mempermain-mainkan hukum dengan membiarkan bahkan membantu koruptor buronan kakap bebas melenggang di tanah air padahal sudah ada di depan mata.
Itu baru beberapa kejadian akhir-akhir ini. Belum lagi sejumlah kasus lainnya yang sudah terjadi baik yang viral maupun tersembunyi, yaitu sejumlah kasus korupsi, pelanggaran aturan, kolusi dan lainnya.
Sehingga timbul pertanyaan, ada apa sebenarnya yang terjadi di negara yang sudah berusia 75 tahun yang kita bangga-banggakan ini?.
Wajarlah maka Anggota Ombudsman RI (ORI) Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan bahwa negara ini rusak karena etika dianggap barang mainan. Padahal tak ada negara maju yang mengabaikan etika. Inilah persoalan negara ini, meskipun sudah 75 tahun tetapi masih mengabaikan etika.
Alamsyah juga kembali mengungkapkan kegelisahannya soal rangkap jabatan komisaris BUMN. Dalam pengangkatan komisaris yang rangkap jabatan di sejumlah BUMN itu menurutnya juga telah terjadi pengabaian etika. Meskipun jelas-jelas sudah melanggar peraturan dan UU tetapi Menteri BUMN Erick Thohir juga tetap tidak peduli.
Faktanya kata Alamsyah, Menteri Erick Thohir mengangkat hakim, rektor, Polri, TNI, dosen PTN dan guru besar menjadi komisaris di BUMN. Pengangkatan itu memang seperti bagi-bagi jatah saja. Padahal ada beberapa peraturan yang dilanggar, antara lain UU TNI, UU Polri, UU Pelayanan Publik, UU BUMN, UU ASN, dan UU Administrasi Pemerintahan.
Hanya mitos kalau disebut pengangkatan itu sudah sesuai aturan. Anehnya, DPR sebagai lembaga tinggi negara yang mengawasi pemerintah malah seperti membiarkannya tanpa melakukan pengawasan.
Pembiaran benturan regulasi ini menghasilkan ketidakpastian dalam proses rekrutmen, pengabaian etika, konflik kepentingan, diskriminasi dan akuntabilitas yang buruk. Sepertinya etika di pemerintahan malah sudah diabaikan.
Persoalan etika ini memang bukan lagi hanya dalam rangkap jabatan komisaris BUMN dan pejabat lainnya. Apalagi dengan kemajuan teknologi digital, etika juga sudah diabaikan. Semua seperti bebas menghujat lewat media sosial, bahkan bukan hanya sesama masyarakat tetapi hingga kepala negara juga turut menjadi bahan ejekan dan hujatan.
Hal ini juga tercermin dari maraknya berita-berita hoaks lewat media sosial. Sepertinya kebencian sudah menjadi nomor satu tanpa memedulikan etika. Anehnya meskipun pengawasan dan penindakan sudah dilakukan tetapi sepertinya tidak ada lagi rasa takut dan jera.
Dalam kaitan ini maka peran keluarga sangat penting karena etika itu sudah harus dimulai sejak dini dari rumah tangga. Kemudian peran lembaga-lembaga keagamaan serta lembaga masyarakat harus ditingkatkan di samping lembaga pendidikan resmi. Didiklah anak-anak untuk beretika sejak kecil sehingga setelah dewasa tidak akan menyusahkan lagi. Selain itu yang sangat utama dan penting juga harus melakukan keteladanan. Miris kalau di usia 75 tahun masih memberlakukan etika sebagai barang mainan.(*)