Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) setuju jika konser musik dan kegiatan kampanye Pilkada Serentak 2020 yang menimbulkan kerumunan masa ditiadakan. Menurut Kemendagri, sejak awal pemerintah jelas tidak setuju dengan segala bentuk kerumunan, termasuk konser musik saat kampanye.
Keputusan Kemendagri ini sangat tepat, mengingat kita masih berada di tengah bencana pandemi Covid-19. Apalagi saat ini kasus positif masih tinggi dan kita masih gencar-gencarnya berupaya memutus mata rantai penularan virus untuk mengurangi jumlah kasus.
Secara logika, siapa pun dia, bila dalam keadaan bencana pasti konotasinya berduka. Layakkah kita bergembira di saat berduka?
Pesta demokrasi, bukan berarti pesta seperti perayaan layaknya acara keluarga, tetapi lebih kepada menyampaikan hak suara untuk menentukan calon pemimpin. Sehingga tidak harus juga ada kegembiraan hingar bingar musik, misalnya.
Jadi izin konser dalam Pilkada, meski dibolehkan sesuai peraturan KPU, sangat tidak layak dilaksanakan. Belum lagi menyangkut upaya mencegah penularan Covid-19, meski dikatakan akan dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan, siapa yang bisa menjamin kalau konser musik tidak membuat semakin berkembangnya virus.
Sangat aneh rasanya, di saat banyaknya pendapat dan permintaan agar pilkada serentak ditunda tahun depan, muncul aturan yang mengizinkan konser musik pada kampanye nanti. Kita tidak tahu apa motivasi positif dari aturan itu, namun tidak mungkin KPU tidak tahu bagaimana kondisi bangsa dan dunia saat ini di tengah bencana Covid-19.
Saat ini semua bertarung menyelematkan manusia dari bahaya virus, sementara sisi lainnya bagaimana kita juga bisa menyelamatkan perekonomian. Dua masalah ini diharapkan bisa diselesaikan secara bergandengan. Meminimalisir korban jiwa dan menyelamatkan ekonomi dari jurang resesi sekaligus. Sebagai penyelenggara pilkada yang dinaungi orang-orang pintar dan intelektual, seharusnya lebih mengedepankan empati dalam masalah ini.
Seperti diketahui, masa pemilu atau pilkada selalu tak terlepas dari massa. Berbagai cara dilakukan untuk menghadirkan massa sebagai upaya mempengaruhinya untuk memperoleh suara. Salah satu cara yang dianggap paling efektif, yakni dengan melakukan konser musik yang menampilkan artis-artis ternama yang banyak penggemarnya. Meski biayanya sangat mahal tapi dampak raihan suaranya dianggap sangat signifikan.
Apalagi di pemilu beberapa dekade lalu, konser musik jadi sangat penting untuk memenangkan kontestasi.
Namun kini kondisi itu mulai bergeser, seiring semakin cerdasnya anak bangsa di tengah canggihnya teknologi internet. Masyarakat bisa melihat atau mencari data dan jejak calon pemimpin yang bakal dipilihnya dari berbagai sumber dengan sangat mudah. Belum lagi perkembangan media sosial (medsos) yang luar biasa, kerap jadi sarana kampanye ( baik hitam maupun putih) para tim sukses.
Memang diakui saat ini konser musik masih cukup efektif menghadirkan massa, tapi belum tentu bisa memperoleh suara yang diinginkan. Cuma masyarakat awam atau kelompok berpendidikan rendah yang bisa terpengaruh menentukan suara dari kegiatan konser musik itu. Karena masyarakat yang cerdas dan melek politik, kehadirannya di konser musik hanya menikmati hiburan gratis.
Mereka jauh hari sudah menentukan pilihan.
Diakui juga, konser musik masih jadi sarana efektif bagi calon pemimpin untuk mengenalkan diri sekaligus menyampaikan visi misi atau program kerjanya. Tapi sekali lagi, ini tidak bisa jadi barometer keterpilihannya kelak.
Dengan kondisi seperti ini seharusnya KPU sudah sangat paham, sehingga membuat aturan disesuaikan dengan keadaan.
Selayaknya KPU juga jadi panutan untuk menggiring dan mengedukasi masyarakat agar bisa berpolitik secara baik. Sehingga ke depannya bangsa ini memperoleh pemimpin-pemimpin yang baik, bagus dan mencintai masyarakatnya. (***/a)