Hari Pangan Sedunia (World Food Day) diperingati setiap tanggal 16 Oktober.
Merupakan perayaan tahunan untuk menghormati tanggal berdirinya Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang diluncurkan PBB tahun 1945.
Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian masyarakat internasional akan pentingnya penanganan masalah pangan, baik di tingkat global, regional maupun nasional.
Hari Pangan Sedunia (HPS) didirikan negara-negara anggota FAO pada November 1979 ketika diselenggarakannya konferensi ke-20.
Kala itu, Delegasi Menteri Pertanian dan Pangan Hongaria, Dr Pal Romany mengusulkan untuk ditetapkannya Hari Pangan Internasional. Usulan tersebut diterima 147 anggota FAO, termasuk Indonesia.
Peringatan HPS secara nasional tahun 2020 dilaksanakan di Parigi Moutong Sulawesi Tengah di saat bencana pandemi Covid-19 melanda dunia, sehingga diambil tema "Keamanan Pangan Tanggung Jawab Bersama".
Pandemi Covid-19 memungkinkan krisis pangan secara global. Karena USA dan Tiongkok sebagai kekuatan besar pangan dunia juga turut terdampak.
Sehingga ada enam jenis pangan yang harus diperhatikan Indonesia dari kelangkaan yakni beras, jagung, kedelai, bawang putih, daging (hewan berkaki empat) dan ayam.
Upaya cepat yang harus dilakukan pemerintah yakni dengan menghentikan pangan sebagai bisnis, namun menjadikan Bulog siaga nasional menyangga pangan, penyiapan pangan untuk wilayah ditutup dengan maksimal dan menjaga stabilitas harga pangan.
Seperti diketahui, saat ini Indonesia memiliki Rumah Tangga Pertanian (RTP) 26,126 juta. Produktivitas mereka harus dilindungi, baik asupan maupun perlindungan diri selama pandemi Covid-19. Juga, menjamin makanan berkualitas, salah satunya dengan memotong mata rantai panjang dari petani ke konsumen.
Nasib petani di Indonesia sejauh ini belum mendapat perhatian penuh pemerintah. Kebijakan masih terfokus pada jumlah komoditas, bukan kesejahteraan untuk pahlawan pangan bangsa ini.
Untuk mengantisipasi kemungkinan krisis pangan selama maupun pasca-pandemi Covid-19, beberapa upaya yang harus dilakukan masyarakat, yakni dengan terus memelihara solidaritas dan membangun lumbung pangan lokal. Kawal penggilingan beras di desa, segera jemur gabah untuk persiapan darurat beras, galakkan beli langsung dari petani dan komunitas petani untuk memperpendek rantai distribusi.
Selanjutnya, terus bertani secara ekologis (agroekologi) untuk menghasilkan pangan yang sehat.
Ada juga upaya jangka panjang yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, membuat visi baru pertanian Indonesia. Kedua, menghidupkan kembali lumbung pangan yang dikelola masyarakat dan desentralisasi penyediaan pangan nasional. Ketiga, bangun sistem pangan lokal yang terintegrasi dan segera siapkan skema pemotongan rantai pasok dan distribusi yang panjang.
Keempat, laksanakan amanat UU No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk mewujudkan kawasan pertanian pangan agroekologis dengan pengusaan lahan per RTP minimal 2 hektar, dan integrasi dari on farm â€" off farm. Dengan begitu, petani menikmati nilai tambah dan pangan olahan segar berkualitas.
Peneliti INAgri (Institut Agroekologi Indonesia) Azwar Hadi Nasution mengungkapkan, lahan pertanian pangan yang menghidupi 91,91 juta petani hanya bertambah 2,96 persen, berbanding jauh dengan lahan perkebunan yang bertambah 144 persen yang dimiliki sedikit orang. Terjadi penurunan RTP dari 31,170 juta (tahun 2003) menjadi 26,126 juta (2013). Atau, hilangnya 5 juta RTP.
Berdasarkan data tahun 2013, kondisi luas lahan yang dimiliki petani juga belum beranjak dari luas 0,2 hektar per RTP. Luas lahan petani berkisar 1.000 â€" 2.000 meter persegi. Bahkan masih sering ditemui petani dengan luas lahan 500 meter persegi.
Rantai pasokan makanan yang aman ini sebenarnya hanya dijamin 26,125 juta RTP tersebut, yang produksinya selama ini memberi makan warga di banyak desa dan kota. Atau, memberi makan seluruh rakyat Indonesia
Artinya, Indonesia penuh dengan produsen makanan skala kecil yang menawarkan solusi siap pakai untuk masalah-masalah yang mengkhawatirkan. Atau, memiliki makanan lokal yang sehat dan tidak bergantung pada rantai pasokan panjang yang berisiko terkena dampak drastis pandemi corona ini.
Namun, dalam kebijakan pertanian atau ekonomi, pertanian yang harus fokus memberi makan populasi kita sebenarnya tunduk pada kepentingan globalisasi dan pasar internasional. Akibatnya, suplai makanan dan kedaulatan pangan dipertanyakan dan berisiko.
Kebijakan-kebijakan ini menghancurkan ribuan pertanian kecil, yang kemudian membahayakan ketahanan pangan bagi seluruh populasi. Tidak adanya kebijakan lokal untuk menjamin ketersediaan pangan membuat sengkarut penanganan pangan bila terjadi geger nasional. Rantai pangan yang panjang, harus desentralisasi.
Hari Pangan Sedunia di tengah pandemi harusnya menyadarkan kita semua, bahwa keamanan pangan harus menjadi perhatian nomor satu. Sebagai kebutuhan mendasar, pangan akan mampu menjawab semua tantangan, termasuk resesi ekonomi dunia. Mensejahterakan petani sebagai ujung tombak keamanan pangan tak bisa ditawar lagi. Seluruh masyarakat pun diharapkan bisa jadi petani, paling tidak untuk kebutuhan diri sendiri. (***)