Setelah menunggu beberapa hari penghitungan suara dan pertarungan sengit sejak pemilihan Presiden AS, 3 November lalu, akhirnya Sabtu, 7 November pasangan calon yang diusung Partai Demokrat Joe Biden dan Kamala Harris memastikan kemenangannya. Namun sampai Minggu kemarin belum ada pengakuan calon petahana dari Partai Republik, Presiden Donald Trump. Malah dikabarkan Trump menolak kemenangan penantangnya itu.
Pada proses pemilihan presiden AS ke-46 ini, terlihat ada kemunduran perilaku demokrasi di negara adidaya itu yang ditunjukkan salah satu paslon. Calon petahana tidak siap menerima hasil perhitungan suara yang memenangkan penantangnya.
Proses perhitungan suara pemilih kali ini memang lebih lambat dibanding pemilu sebelumnya. Hal ini terjadi sebagai dampak pandemi Covid-19 yang juga merebak di AS. Untuk menghindari berkumpulnya massa saat pemilihan maka pemilih diijinkan melakukan pengiriman surat suara lewat pos sebelum hingga hari H, 3 November 2020. Akibatnya penghitungan suara lebih lambat karena menunggu dan melakukan penghitungan secara manual.
Proses penghitungan 65 juta lebih surat suara lewat pos inilah yang dicurigai petahana terjadi kecurangan yang merugikannya. Sehingga Trump menyerukan dan melakukan gugatan di beberapa negara bagian agar penghitungan dihentikan. Namun seruan dan gugatan Trump itu tidak dikabulkan pengadilan karena dinilai tidak berdasar. Memang secara logika, melawan petahana yang masih berkuasa, kecil kemungkinan calon penantang melakukan kecurangan, apalagi di tengah pengawasan ketat.
Anehnya, meskipun penghitungan suara masih berlangsung, dan yang memiliki suara terbanyak sementara adalah calon penantang, tetapi tanpa merasa malu Trump malah mengumumkan diri sebagai pemenang pilpres. Mirip seperti pemilihan presiden di Indonesia pada tahun lalu. Sehingga banyak komentar beredar di medsos bahwa AS sepertinya meniru pilpres di Indonesia. Bahkan perilaku petahana hampir mirip dengan penantang calon petahana pada pilpes di negara ini yang sulit menerima kekalahan.
Bagi negara yang sudah ratusan tahun menjunjung tinggi demokrasi dan menjadi pemimpin dan kiblat negara-negara demokrasi di dunia, seyogianya hal ini tidak perlu terjadi. Namun kenyataan membuktikan bahwa dalam merebut kekuasaan tidak ada ukuran kedewasaan (ketuaan) dan etika. Segala cara sepertinya dihalalkan untuk merebut kekuasaan termasuk dengan uang dan kekerasan.
Proses pemilihan presiden AS ini tentu bisa menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Bukan hanya pada proses pilkada serentak saat ini, maupun dalam pemilihan pimpinan partai politik, tetapi juga pada pemilihan pimpinan gereja di Sumut yang hangat saat ini.
Cara-cara yang dilakukan diduga adalah upaya untuk memenangkan calonnya seperti yang terjadi dalam proses pelaksanaan sinode salah satu gereja besar di Indonesia yang masih tertunda. Alasan-alasan yang digunakan juga kurang sinkron. Namun karena mayoritas penantangnya masih menginginkan kedamaian, maka selalu menerima dan mengalah atas kebijakan dan keputusan tunggal dari pimpinan yang sudah lewat periodenya itu.
Demikian halnya dalam proses pilkada di beberapa daerah. Dari awal-awal beberapa bakal calon sudah melakukan berbagai cara agar tampil sebagai calon tunggal yang dinilai merupakan kemunduran demokrasi. Meskipun tidak semuanya berhasil, tetapi pilkada di beberapa daerah, calon tunggal hanya akan melawan kotak kosong, termasuk di dua daerah di Sumut.
Ini menunjukkan sikap dan perilaku tidak siap bersaing, sekaligus juga dinilai hanya siap menang tetapi tidak siap kalah. Sehingga apa pun dilakukannya agar bisa memenangkan kontes ini meskipun pertarungan belum dimulai.
Perlu dicontoh apa yang sudah dilakukan pak Jokowi setelah menjadi presiden pada periode kedua dengan merangkul lawan menjadi kawan satu tim dalam kabinet Indonesia Maju. Pertarungan politik berakhir tetapi perkawanan tidak sampai berakhir. Jangan sampai pertarungan memperebutkan kekuasaan ini membuat persaudaraan dan perkawanan putus selamanya.
Harus siap menang dan siap pula kalah. Hindarkanlah cara-cara yang tidak beretika dan yang tidak halal hanya untuk memperebutkan kekuasaan, apalagi kekuasaan di lembaga gereja. Karena pimpinan itu bukan hanya sebagai pemimpin atau penguasa tetapi juga sebagai pengayom dan pelayan masyarakat.(*)