Hari Kesehatan Nasional (HKN) diperingati setiap tanggal 12 November, dan sejarah itu terjadi pada era Presiden Soekarno, sekitar tahun 1950-an. Di mana terjadi wabah penyakit malaria yang paling banyak diderita rakyat Indonesia dan ratusan ribu korban jiwa akibat terjangkit malaria.
Sebab itu pemerintah melakukan upaya pembasmian malaria di seluruh nusantara dengan membentuk Dinas Pembasmian Malaria pada tahun 1959. Kemudian pada Januari 1963, namanya berubah menjadi Komando Operasi Pemberantasan Malaria (KOPEM). Pemerintah RI bekerja sama dengan WHO dan USAID merencanakan pada 1970 malaria akan hilang dari bumi pertiwi.
Pembasmian malaria itu menggunakan insektisida Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) yang disemprotkan secara massal ke rumah-rumah warga di seluruh Jawa, Bali dan Lampung. Presiden Soekarno melakukan penyemprotan secara simbolis pada tanggal 12 November 1959 di Desa Kalasan, Yogyakarta. Selanjutnya, kegiatan penyemprotan DDT juga dibarengi dengan kegiatan pendidikan kesehatan atau penyuluhan kepada masyarakat.
Lima tahun kemudian, sekitar 63 juta penduduk telah mendapat perlindungan dari penyakit malaria. Keberhasilan pemerintah dalam membasmi malaria tersebut, kemudian diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN) pertama pada tanggal 12 November 1964. Hal itu kemudian menjadi titik awal kebersamaan seluruh komponen bangsa dalam pembangunan kesehatan di Indonesia.
Sementara tahun 2020 ini Kemenkes RI mengusung tema "Satukan Tekad Menuju Indonesia Sehat†dengan sub-tema "Jaga Diri, Keluarga dan Masyarakat, Selamatkan Bangsa dari Pandemi Covid-19" dalam peringatan ke-56 tahun HKN.
Tema tersebut, menurut Kemenkes RI, bertujuan mewujudkan Indonesia yang sehat dan tidak putus asa dalam memperjuangkan ketahanan kesehatan Indonesia.
Peringatan HKN kali ini seperti mengulang sejarah ketika pertama kali diperingati tahun 1964. Bedanya, saat itu masyarakat dihadapkan pada wabah malaria, kini kita diterpa pandemi Covid-19. Sangat berbeda situasi dan kondisi saat itu dengan sekarang. Namun semangat dan upaya saat itu masih tetap relevan untuk ditransformasikan agar penanganan pandemi Covid-19 bisa berjalan baik.
Saat ini kondisinya pasti sangat berbeda, dari soal virus, korban jiwa hingga dampak dan penanganannya. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, virus yang berkembang pun semakin rumit dan sulit dituntaskan. Sehingga pencegahan dan pemulihannya memerlukan usaha dan biaya yang sangat besar atau mahal.
Dalam Kepmenkes No. HK.01.07/MENKES/238/2020 disimpulkan, untuk perawatan satu pasien Covid-19 saja, biaya yang harus keluar dapat mencapai ratusan juta rupiah. Di mana biaya perharinya sekitar belasan juta rupiah.
Dalam periode April-September, Kemenkes mencatat jumlah klaim yang sudah dibayarkan kepada RS mencapai Rp 4,38 triliun. Hingga akhir tahun Kemenkes diyakini bisa membayarkan senilai Rp17 triliun. Pasalnya, klaim yang dibayarkan setiap harinya sebanyak Rp100 miliar hingga Rp150 miliar.
Secara global, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, total anggaran untuk penanganan Covid-19 mencapai Rp 677,2 triliun. Menkeu merinci total biaya tersebut, yakni Rp 87,55 triliun untuk bidang kesehatan, termasuk di dalamnya untuk belanja penanganan Covid, tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran untuk jaminan kesehatan nasional untuk pembiayaan gugus tugas, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan.
Untuk perlindungan sosial yang menyangkut program PKH, sembako, bansos untuk Jabodetabek, bansos non-Jabodetabek, kartu Prakerja, diskon listrik yang diperpanjang jadi 6 bulan, dan logistik untuk sembako serta BLT dana desa mencakup Rp 203,9 triliun.
Dukungan kepada UMKM mencapai Rp 123,46 triliun, insentif bidang perpajakan dan stimulus lainnya mencapai Rp 120,61 triliun. Untuk bidang pembiayaan dan korporasi Rp 44,57 triliun. Terakhir dukungan untuk sektoral maupun Kementerian lembaga serta Pemerintah Daerah mencapai Rp 97,11 triliun.
Sungguh biaya yang sangat mahal untuk sebuah kesehatan dan penanggulangan dampaknya. Belum lagi soal korban jiwa dan dampak psikologis yang ditimbulkannya.
Artinya, kita harus menyadari bahwa untuk sehat itu sangat mahal sehingga kita tidak lagi main-main agar bisa hidup sehat. Tidak ada artinya uang banyak kalau tidak sehat.
Dengan HKN di tengah pandemi Covid kali ini, kita diingatkan untuk menjaga kesehatan sebaik mungkin. Menjaga kesehatan bukan hanya menyiapkan perangkat kesehatan untuk mengobati penyakit agar sembuh. Tetapi membuat pola hidup sehat, sehingga sejak dini sudah menjaga kesehatan agar terhindar dari sakit.
Dengan gaya hidup demikian, maka seharusnya sehat itu tidak menjadi mahal.
Secara individu masyarakat harus bisa mengatur hidupnya sejak awal dengan memakan makanan sehat, teratur berolahraga, cukup tidur dan istirahat, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, berpola pikir positif dan sebagainya.
Hal ini dilakukan manusia sejak kecil sehingga menjadi kebiasan hidup sehat sampai kapan pun. Namun untuk ini dibutuhkan perhatian semua pihak agar saling mendukung dan menyosialisasikan kepada keluarga dan lingkungannya. Bagi pemerintah, pola hidup sehat masyarakat harus dikampanyekan secara masif dengan berbagai cara. Selain dengan anggaran, tentu mengharuskan setiap departemen melaksanakan program hidup sehat.
Tidak ada yang sulit kalau kita memang sungguh-sungguh berniat. Pola hidup sehat sudah menjadi kebutuhan mendasar yang tidak bisa ditawar. Pelajaran apa lagi yang harus diberikan, bila kita tak sadar bahwa pandemi Covid-19 sudah menghancurkan seluruh sendi kehidupan manusia. (***)