Saat masyarakat daerah ini berbangga dengan ditetapkannya salah seorang putra terbaiknya menjadi Pahlawan Nasional, MR Sutan Mohammad Amin Nasution (Gubernur pertama Sumut) justru wajah Sumut kembali tercoreng dalam kasus korupsi. Seorang Kepala Daerah, Bupati Labuhan Batu Utara (Labura) Kharuddin Syah Sitorus ditahan dan ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus gratifikasi terkait mafia anggaran.
Kharuddin selaku Bupati diduga menyuap eks pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yaya Purnomo dan Rifa Surya saat mengajukan DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk TA 2018 melalui program e-planning sebesar Rp504,7 miliar lebih. Dalam dakwaan Yaya Purnomo yang sudah divonis sebelumnya disebut, terkait DAK itu, Kharuddin memberikan gratifikasi senilai Rp.400 juta dan SGD 290 ribu kepada Yaya.
Kasus yang menjerat Bupati Labura ini tentu saja menambah kasus korupsi yang menjerat beberapa pejabat dan anggota DPRD Sumut secara berjamaah. Sebagian sudah divonis, banding dan sebagian lagi masih dalam proses penyidikan di KPK, juga terkait gratifikasi.
Melihat fakta-fakta tersebut, maka wajar Provinsi Sumut masih tetap bercokol sebagai 4 besar instansi dan daerah yang paling banyak melakukan praktek korupsi sejak KPK ada (2002). Menurut KPK, urutan teratas paling banyak kasus korupsi adalah pemerintah pusat, menyusul Jawa Barat dan Jawa Timur. Kemudian Sumut dengan 64 kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan Gubernur, sejumlah Bupati dan Wali Kota serta anggota DPRD.
Meskipun sudah mendapat predikat sebagai salah satu daerah yang banyak kasus korupsi, dan para pejabat yang terlibat juga sudah dipenjara tetapi kasus korupsi bukannya berhenti. Bahkan ada pejabat yang sudah divonis korupsi setelah bebas malah disambut seperti pahlawan. Tanpa rasa malu, mantan pejabat dimaksud malah berniat lagi mau menjabat dan maju sebagai calon parlemen.
Padahal pelaku yang sudah divonis korupsi itu sama saja dengan pencuri uang rakyat. Mungkin karena semasa menjabat sering "menabur-naburkan" uang hasil korupsinya bagi orang-orang atau kelompok tertentu maka dianggap sebagai orang yang berjasa yang sulit dilupakan. Sehingga baik pelaku maupun penikmat hasil korupsi itu merasa apa yang sudah dilakukan bukan lagi aib tetapi kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari uang rakyat.
Sangat menyedihkan jika perilaku korupsi para pejabat dan anggota DPRD ini dianggap sebagai kewajaran. Hal ini juga sekaligus menjadi indikasi bahwa perilaku-perilaku seperti itu sudah lama terjadi jauh sebelum adanya lembaga KPK. Sehingga sampai mengesahkan APBD saja pun anggota dewan harus mendapat uang ketok palu.
Praktek-praktek yang sudah membudaya ini tentu sulit untuk dihilangkan meskipun gaji para pejabat dan tunjangannya sudah cukup besar. Namun dengan adanya program prioritas KPK untuk melakukan pencegahan maka diharapkan secara lambat laun bisa berangsur-angsur timbul kesadaran masyarakat, khususnya para pejabat untuk tetap mematuhi sumpah/janji jabatannya yang "diharamkan" menerima dan memberi terkait kewenangan dan kekuasaannya.
Program pencegahan melalui pembentukan Komite Advokasi Daerah (KAD) anti korupsi oleh KPK diharapkan sekaligus dapat menjadi salah satu solusi pencegahan dan pengawasan perilaku korupsi di daerah. Namun melihat para personil yang duduk sebagai pengurusnya, yang juga melibatkan para pelaku-pelaku usaha maka dinilai sulit untuk tercapainya pencegahan korupsi.
Karena banyaknya terjadi korupsi justru dalam bidang pengadaan barang dan jasa yang para pelaku dan korbannya diduga juga adalah para pelaku usaha.
Maka ke depan diharapkan vigur-vigur yang diangkat sebagai pengurus KAD ini, sebaiknya melibatkan vigur yang selama ini tidak terlibat dalam pengadaan barang dan jasa proyek-proyek pemerintah. Masukkanlah unsur-unsur lembaga-lembaga masyarakat, lembaga agama dan tokoh pendidikan yang kredibel dan bersih.
Kita harapkan tokoh-tokoh itu dengan teknologi digital saat ini bisa memberikan advokasi sejak perencanaan, konsep, sistem dan pelaksanaannya agar sejak dini dapat dilakukan pencegahan korupsi. Selain itu para tokoh agama juga tetap mengingatkan masyarakat dari mimbar bahwa korupsi itu tidak hanya dibenci masyarakat dan dilarang negara, tetapi juga sangat diharamkan oleh agama. Jangan sampai tokoh-tokoh yang kita nilai bersih ini juga turut menjadi pelaku gratifikasi dan korupsi, tetapi mereka harus lebih dulu menjadi teladan yaitu sesuai kata dan perbuatan.(*)