Dalam beberapa hari terakhir ini, dua proyek bernilai seratusan miliar rupiah diberitakan harian ini mangkrak bertahun-tahun di Sumut. Satu di kota Medan, proyek Skybridge (jembatan layang) Lapangan Merdeka-Stasiun KA senilai Rp35 miliar dan satu lagi jembatan Sei Wampu Langkat senilai Rp75 miliar lebih.
Kedua proyek yang dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat dan memperlancar arus lalu lintas ke Aceh itu, boleh dikatakan sia-sia. Bukannya bermanfaat tetapi mengotori pandangan masyarakat sehari-hari.
Mungkin bukan hanya kedua proyek ini yang mangkrak dan mungkin juga bukan hanya di Sumut. Karena sudah menjadi kebiasaan bahwa proyek-proyek pemerintah baik pusat maupun daerah selalu dikebut pada akhir tahun. Padahal pada akhir tahun kendalanya sangat besar seperti iklim dan curah hujan yang kurang mendukung. Bisa kita bayangkan bagaimana mutu pekerjaan yang dikebut mengejar waktu jangan sampai menyeberang tahun anggaran. Akibatnya, potensi mangkrak sangat besar.
Syukurlah hal itu juga sudah mendapat perhatian dari Presiden Jokowi yang disampaikan pada Rakornas Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang digelar secara virtual, Rabu (19/11). Sehingga ke depan tidak ada lagi proyek sia-sia yang menjerat para pelaku yang terlibat, baik aparat pemerintah maupun swasta.
Dalam beberapa waktu terakhir, Presiden Jokowi maupun Mendagri sangat mengeluhkan lambannya realisasi pembelanjaan anggaran pusat di daerah. Padahal anggaran ini sangat diharapkan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat yang mandeg akibat pandemi Covid-19.
Ternyata salah satu anggaran pusat yang belum terealisasi itu adalah di bidang jasa konstruksi. Sampai November 2020, masih ada Rp40 triliun anggaran konstruksi yang belum dibelanjakan. Bisa kita bayangkan bagaimana kualitas proyek-proyek infrastuktur senilai Rp40 triliun hanya dikerjakan dan dibelanjakan dalam waktu satu bulan. Kalau jembatan dan gedung bisa ambruk dan kalau jalan dalam waktu singkat akan hancur lebur.
Selain masyarakat tidak merasakan manfaatnya, maka para pelaku pembangunan itu akan menjadi bulan-bulanan petugas pemeriksa. Bahkan akan sampai ke petugas penyidik dan KPK karena sudah merugikan negara dan masyarakat. Sehingga angka korupsi tetap tinggi.
Dalam kaitan ini, maka jangan buru-buru menyalahkan pelaku atau pengusaha jasa konstruksi yang terlibat. Kita yakin hal ini bukan kesalahan mereka semata, tetapi sudah diawali dari proses tender yang cukup panjang. Proses panjang itulah jadi biang keladi utama sehingga realisasi pembangunan proyek pemerintah menjadi lambat.
Selain itu, bukan rahasia umum lagi bahwa aparat pemerintah pengelola proyek tersebut juga diduga punya kepentingan untuk memutuskan siapa pemenangnya. Sehingga proyek belum dikerjakan tetapi sudah digugat. Padahal belum ada unsur kerugian negara dalam proses tender itu. Akhirnya waktu pelaksanaan proyek pun berpotensi menjadi terlambat, bahkan mangkrak.
Sehingga apa yang dikeluhkan Presiden Jokowi sepertinya adalah menunjuk kepada aparat di bawahnya. Mulai dari Kementerian yang menangani hingga jajaran pelaksananya di daerah. Perbaikan sistem dan prosedur pelaksanaan tender harus dilakukan dengan melibatkan aparat terkait, seperti Irjen, BPK, BPKP, Kejaksaan, bahkan KPK.
Jika panitia dan aparat menyatakan bahwa sistem dan prosedur sudah dilaksanakan maka potensi terjadinya korupsi akan dicegah. Sehingga meskipun timbul gugatan atas pelaksanaan proyek itu, dengan sendirinya akan terbantahkan dengan kehadiran aparat pengawas. Semuanya itu bisa terlaksana jika aparat terkait mengenyampingkan kepentingan sendiri dan kepentingan kelompoknya. Semoga tidak ada lagi proyek sia-sia dan mangkrak yang menghabiskan uang negara (rakyat). (*)
Sumber
: Harian SIB Edisi Cetak