Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 13 Juli 2025

Sekolah Tatap Muka dan Harapan Masyarakat

Redaksi - Selasa, 24 November 2020 10:59 WIB
1.863 view
Sekolah Tatap Muka dan Harapan Masyarakat
Internet
Ilustrasi
Mendikbud Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk kembali membuka kegiatan belajar tatap muka sekolah di seluruh zona mulai Januari 2021.

Hal tersebut diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di masa pandemi Covid-19.

Nadiem menegaskan, keputusan pembukaan sekolah tatap muka setelah hampir 8 bulan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orangtua melalui komite sekolah.

Orangtua masing-masing siswa dibebaskan untuk menentukan apakah anaknya diperbolehkan ikut masuk sekolah atau tidak. Meski pun sekolah dan daerah tertentu telah memutuskan untuk membuka kembali kegiatan belajar tatap muka.

Keputusan Nadiem ini seperti mengakhiri cerita banyak orang yang pro-kontra terhadap PJJ. Karena semua keinginan masyarakat itu sudah tertampung di sini dengan berbagai syarat yang dilakukannya. Namun yakinlah bahwa keputusan ini juga bisa jadi cerita baru, karena memang sudah kebiasaan masyarakat kita yang selalu tidak pernah puas dengan keputusan. Belum dijalankan, sudah ramai kritikan.

Lihat saja pemberitaan kemarin di berbagai media, sejumlah orangtua masih meragukan keputusan Nadiem itu. Mereka pun mempertanyakan risiko keamanan dan keputusan Nadiem yang memberikan kewenangan pembukaan kepada Pemda. Seperti yang diungkapkan Rulyanti (45), ibu dari siswa kelas X SMA di Jakarta Selatan ini mengaku tak akan mengizinkan anaknya sekolah jika pun sudah dibuka Januari 2021.

"Kalau risiko emang dia mau jamin? Aku pasti lihat dulu kondisi di sekolah. Bisa dijamin nggak Pemda itu, kalau terjadi sesuatu dia mau jamin nggak?," ungkapnya kepada media, Jumat (20/11).

Rulyanti tak percaya kegiatan di sekolah dapat berjalan aman dan mematuhi protokol kesehatan dengan ketat. Ia bahkan mengaku tak begitu berharap dengan vaksin Covid-19.

Kekhawatiran serupa juga diungkapkan Soraya (34), ibu dari anak berusia 4 tahun yang kini duduk di bangku Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Cinere, Depok. Ia menilai keadaan pandemi corona di Indonesia belum memungkinkan untuk menerapkan pembelajaran tatap muka. Terlebih untuk anak jenjang PAUD dan SD.

"Jangan karena orang sudah capek, bosen, kelamaan terus dilonggarkan. China saja waktu itu turun (kasusnya) boleh sekolah, kerja terus sekarang fase dua. Indonesia fase satu saja belum turun-turun," kata Soraya.

Hal berbeda disampaikan para orangtua di Medan. Mereka sangat gembira dengan keputusan Nadiem ini, karena mereka dan anak-anaknya sudah stres mengikuti PJJ. Mereka sudah tak sabar lagi agar anaknya bisa mengikuti belajar di sekolah dengan cara tatap muka. Mengenai ancaman bahaya terpapar Covid, banyak yang menyatakan kalau mereka tidak takut, karena akan melaksanakan protokol kesehatan.

Menanggapi itu, Komisioner KPAI Retno Listyarti menyatakan masih banyak sekolah yang belum siap secara protokol kesehatan dalam penerapan kembali pembelajaran tatap muka. Ketidaksiapan itu berangkat dari survei atau tinjauan terhadap 48 sekolah di 8 provinsi dan 20 kabupaten kota sejak 15 Juni hingga 19 November lalu. Namun demikian KPAI tak menyebut angka mayoritas tersebut.

Retno pun mengaku tidak setuju beban menyiapkan infrastruktur pembelajaran tatap muka di sekolah hanya diserahkan ke Pemda. Menurut dia, selain pemerintah daerah, pemerintah pusat juga harus fokus pada upaya penyiapan infrastruktur, sosialisasi protokol kesehatan, dan kerja sama dinas pendidikan dan satuan tugas Covid-19.

KPAI juga mendorong agar pelaksanaan belajar tatap muka diiringi dengan tes swab masif bagi seluruh tenaga pendidik, termasuk siswa yang dapat dilakukan secara acak. Tes dilakukan dengan menggunakan anggaran APBD dan APBN.

Di sisi lain, ia menambahkan, sepanjang pengawasan KPAI, status zona terus berubah secara dinamis, begitu pula buka tutup sekolah. Oleh sebab itu, ia mendorong pembukaan sekolah tidak mengacu pada status zona daerah, melainkan kesiapan sekolah.

Lalu Epidemiologi Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, sebaiknya pemerintah memaksimalkan pengendalian kasus terlebih dahulu kurang lebih selama tiga bulan. Hasil yang ada kemudian dapat digunakan untuk membuat keputusan soal kebijakan pembukaan sekolah tatap muka.

Dicky menyebutkan tiga kriteria yang harus dipenuhi sebelum membuka kembali sekolah tatap muka. Pertama, penurunan kasus harian dalam dua pekan berturut-turut. Kedua, tren penurunan kasus yang dibarengi dengan angka positivity rate di bawah 5 persen.

Ketiga, tingkat kematian akibat Covid-19 harus menyentuh satu digit setiap hari. Jika ketiga syarat itu terpenuhi, Dicky menilai pemerintah baru bisa mempertimbangkan sekolah tatap muka. Hal ini juga tentu harus dibarengi dengan implementasi protokol kesehatan yang tepat.

Masukan-masukan ini harus didengar pemerintah untuk mengambil kebijakan yang akan dilakukan. Namun pemerintah juga tidak bisa memenuhi semua keinginan pihak yang berbeda. Selama keinginan masyarakat selaras dengan kebijakannya, pemerintah harus menampung untuk memperkuat keputusan yang dianggap lebih baik.

Banyaknya masukan berbagai pihak dan keinginan masyarakat yang berbeda dalam kebijakan pendidikan merupakan sebagai kepedulian betapa besarnya harapan untuk memajukan kualitas SDM Indonesia. Apapun keputusannya kita berharap menghasilkan sesuatu yang terbaik untuk meningkatkan pengetahuan sekaligus keselamatan jiwa masyarakat. (***)

Sumber
: Harian SIB Edisi Cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru