Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 13 Juli 2025

Meningkatkan Kesejahteraan dan Kualitas Guru

Redaksi - Rabu, 25 November 2020 10:53 WIB
962 view
Meningkatkan Kesejahteraan dan Kualitas Guru
Kemendikbud
Ilustrasi logo Hari Guru Nasional (HGN) 2020
Hari ini tanggal 25 November merupakan hari istimewa bagi para guru, karena diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN). Tentu sebuah penghargaan yang tinggi bagi para pendidik, karena di tangan mereka jugalah ditentukan masa depan bangsa.

Memperingati HGN tak terlepas dari sejarah lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang diawali oleh Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada tahun 1912. Mereka memperjuangkan nasib para anggotanya yang memiliki pangkat, status sosial dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Sejalan dengan keadaan itu maka di samping PGHB, berkembang pula organisasi guru baru.

Pada tahun 1932 nama PGHB diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan nama ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia" yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi mereka. Sebaliknya kata “Indonesia" ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.

Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, PGI tidak dapat lagi melakukan aktivitas. Situasi berubah ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Semangat kemerdekaan itu melahirkan Kongres Guru Indonesia pada 24-25 November 1945 di Surakarta. Guru dan pegawai pendidikan berkumpul dan mendirikan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah RI dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.

Terlepas dari sejarahnya, guru memang selalu jadi perhatian, karena dalam kehidupan sehari-hari guru memegang peran penting dalam semua aspek kehidupan. Karena di tangan mereka lah generasi muda dididik dan menentukan baik buruknya masa depan bangsa.

Namun di balik perannya yang sangat besar "pahlawan tanpa tanda jasa" ini masih selalu dianggap sebelah mata oleh berbagai kalangan. Mereka masih dianggap warga kelas dua akibat pendapatannya yang sangat kecil, khususnya para guru honorer.

Mendikbud Nadiem Makarim kemarin mengungkapkan, masih ada guru honorer yang hanya dibayar Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan.Dia sudah berkeliling ke banyak daerah di Indonesia untuk mengetahui kondisi tenaga pengajar. Padahal, guru-guru honorer ini memiliki dedikasi yang tinggi.

Dirinya menyadari masih banyak guru honorer yang gajinya tidak layak, sementara mereka berhak mendapatkan kesejahteraan lebih. Sebenarnya mereka layak menjadi ASN, karena punya kompetensi untuk menjadi guru yang baik. Didasarkan hal itu, pemerintah memutuskan untuk membuka rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Hasil survei IGI (Ikatan Guru Indonesia) terhadap 24.835 guru honorer tahun 2020 menunjukkan, lebih dari sepertiga responden guru (36,8 persen) mendapat gaji Rp 250.000-Rp 500.000. Bahkan, masih ada 15,4 persen responden guru mendapatkan digaji kurang dari Rp 250.000.

Pandemi Covid-19 membuat beban guru honorer kategori dua semakin berat dengan penghasilan mereka yang minim. Banyak yang menilai, guru honorer K2 inilah yang paling terganggu penghasilannya akibat pandemi. Dukungan untuk guru honorer kategori 2 juga mengemuka ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan akan memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU). Dana BSU guru honorer rencananya akan diberikan Rp 1,8 juta sekaligus. Ini seyogianya diprioritaskan untuk membantu guru honorer K2.

Keberpihakan masyarakat pada guru honorer K2 ini menunjukkan bahwa guru honorer K2 yang jumlahnya menurut laman Kemendikbud sebanyak 787.823 membutuhkan perhatian lebih.

Sebelumnya, pemerintah juga mengupayakan perbaikan gaji guru honorer pada situasi pandemi.

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 19/2020 yang merevisi pemanfaatan dana BOS boleh digunakan lebih dari 50 persen untuk menambah gaji guru honorer. Hal ini paling tidak membuat guru honorer K2 ini sedikit bernapas lega.

Bila pandemi Covid-19 berakhir, belum dipastikan juga bagaimana kelanjutan peehatian terhadap guru honorer ini. Status guru honorer muncul di tahun 1990-an ketika kebutuhan guru semakin meningkat dengan mulai bertambahnya jumlah sekolah dan banyaknya guru PNS yang purnakarya. Sementara kebutuhan di lapangan tidak diikuti dengan penambahan guru baru karena tidak ada pengangkatan.

Mengatasi kekurangan guru tersebut pihak sekolah mengambil inisiatif mempekerjakan anak-anak yang pernah PKL (praktik kerja lapangan) di sekolah menjadi guru dengan status honorer dan gaji seadanya. Mereka memilih status sosial meskipun dengan gaji pas-pasan.

Perekrutan guru tanpa pola dan proses yang terstandar akhirnya semakin masif, bahkan praktik aji mumpung terjadi karena ada kedekatan dengan kepala sekolah atau pejabat daerah tanpa melihat kualitas dan kapabilitas.

Di satu sisi LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) juga semakin banyak menghasilkan lulusan guru, tapi tidak terserap sekolah. Guru-guru berkualitas justru tidak mendapat tempat.

Bertambahnya jumlah guru honor dan panjangnya waktu pengabdian membuat tuntutan perbaikan status dan kesejahteraan semakin kencang. Namun, meningkatnya jumlah tidak linier dengan peningkatan kualitasnya. Kondisi ini tentu memengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia dan menjadikan masalah guru honorer semakin komplek.

Peringatan HGN di masa pandemi Covid ini diharapkan menjadi titik balik perhatian kita terhadap kesejahteraan guru sekaligus peningkatan kualitasnya. Guru sejahtera dan profesional hendaknya bukan sekadar impian. Idealnya mereka mendapatkan peluang kompetensi secara mandiri. Pemerintah juga harus menetapkan standarisasi guru secara profesional, sehingga semua organisasi profesi yang sudah mendapat legalisasi memfasilitasi untuk menyediakan guru yang sesuai standar.(***)

Sumber
: Harian SIB Edisi Cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru