Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 13 Juli 2025

Duka dari Sigi

Redaksi - Senin, 30 November 2020 11:32 WIB
470 view
Duka dari Sigi
Foto: istimewa
Suasana duka jelang pemakaman korban penyerangan di Desa Lemban Tongoa, Palolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, Sabtu (28/11/2020).
Jemaat Tuhan kembali berduka. Kali ini terjadi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Empat orang satu keluarga jemaat Gereja dibunuh secara sadis, ada yang dipenggal dan ada yang dibakar, Jumat (27/11/2020) lalu. Selain korban jiwa, dikabarkan sejumlah rumah penduduk dan pos pelayanan gereja juga dibakar. Sungguh pelakunya, manusia tidak ber-Tuhan, biadab dan tidak berperikemanusiaan.

Sampai saat ini belum diketahui apa motifnya, namun diduga tidak terlepas dari ulah teroris dengan sentimen agama. Kita harapkan aparat keamanan dapat menangkap pelakunya, sehingga apa motif sebenarnya di balik peristiwa ini dapat terungkap. Sehingga kejadian yang sama tidak terulang lagi, khususnya kepada kalangan minoritas di negara yang kita cintai ini.

Meskipun negara yang sudah merdeka atas perjuangan dan pertumpahan darah para pahlawan kita sejak 75 tahun lalu, tetapi belum semua masyarakat menikmati kemerdekaaan itu. Bahkan sebagian masih merasa tidak nyaman dan ketakutan tinggal di negeri ini, seperti yang dialami masyarakat yang terpencil di Sigi ini dan mungkin juga masih terjadi di beberapa daerah lainnya.

Kemerdekaan RI adalah hasil perjuangan para pahlawan tanpa membeda-bedakan agama, suku dan ras. Semua turut berjuang dan satu dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Namun dalam praktiknya, masih ada terjadi kesewenang-wenangan kelompok tertentu karena merasa mayoritas maka memaksakan kehendaknya kepada minoritas. Sepertinya mereka merasa hanya agama dan kelompoknya saja yang memiliki negara ini, sehingga merekalah yang berkuasa.

Sentimen agama juga menjadi salah satu isu menarik sekaligus sensitif yang ditonjolkan saat adanya perhelatan dan penentuan pejabat di negara ini. Termasuk juga dalam pemilihan kepala daerah dan pengangkatan para pemimpin, termasuk di kepolisian.

Apalagi akhir-akhir ini, dengan munculnya sejumlah pendakwah muda yang mengumbar fanatisme agama membuat suasana nyaman terusik. Selain itu juga mereka sering mengumbar dan menonjolkan perbedaan dan fanatisme berlebihan seolah menganggap hanya agamanya yang benar. Hal ini justru semakin memperuncing perbedaan, sehingga mengancam kerukunan antar umat beragama.

Namun di tengah-tengah situasi ini, kita tetap optimis masih ada harapan akan terawatnya kerukunan dengan terbentuknya kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang baru periode 2020-2025 pada Munas 25-27 November lalu. Apalagi dengan terpilihnya ulama, KH Miftachul Akhyar, Rais 'Aam PBNU periode 2018-2020 sebagai Ketua Umum. Sebagai ulama sepuh NU, tentu tidak diragukan lagi rasa nasionalismenya, sebagaimana Gus Dur semasa hidupnya.

Pernyataan Ketum MUI Miftachul saat pidato pada penutupan Munas MUI itu, bahwa tugas ulama itu adalah berdakwah. Dakwah itu mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, menyayangi bukan menyaingi, mendidik bukan membidik, membina bukan menghina, mencari solusi bukan mencari simpati dan membela bukan mencela.

Pernyataan ini tentu saja bukan basa-basi atau hanya sekedar wacana tetapi merupakan ajaran dari seorang ulama sepuh NU. Diharapkan, ajaran bijak ini didengar dan dipedomani para ulama dalam berdakwah, terutama bagi ulama muda yang baru muncul.

Selain itu diharapkan kepengurusan MUI yang baru ini juga sinergi dengan Kementerian Agama dalam merawat kerukunan dan menguatkan moderasi beragama sebagaimana yang sudah diprogramkan Kemenag 2020-2024. Moderasi beragama ini akan menjadi kunci terciptanya toleransi dan kerukunan yang ditandai dengan sikap cinta tanah air, toleransi tinggi, anti kekerasan, serta akomodatif terhadap budaya lokal.

Terawatnya kerukunan dan toleransi antar umat akan menjadi modal utama bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Inilah yang menjadi harapan sekaligus kepercayaan negara dan masyarakat kepada MUI dan ormas keagamaan lainnya agar segera mengambil peran. Sehingga MUI akan menorehkan sejarah yang baik dalam merawat kerukunan di Indonesia. (*)

Sumber
: Harian SIB Edisi Cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru