Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 13 Juli 2025

Masalah Tanah yang Berkepanjangan

Redaksi - Jumat, 04 Desember 2020 10:55 WIB
411 view
Masalah Tanah yang Berkepanjangan
Foto Istimewa
Ilustrasi sengketa tanah
Tanah memiliki makna yang sangat sakral dan bernilai tinggi bagi masyarakat, terutama di Sumut. Sehingga tanah sering diperebutkan, meskipun bukan tanah milik atau warisannya.

Tanah yang sudah bersertifikat pun masih sering dipersoalkan, apalagi yang belum. Akibatnya, gara-gara tanah sejengkal bisa menimbulkan konflik yang berkepanjangan, baik pribadi maupun keluarga hingga ke anak cucu, bahkan tidak jarang sampai mengambil korban.

Konflik tanah di Sumut juga masih marak sampai saat ini, bahkan menjadi penyumbang konflik terbesar di Indonesia. Persoalannya pun tidak hanya di Sumut tetapi juga sudah sampai ke Jakarta. Bahkan para petani pun sudah nekat jalan kaki dari Sumut hingga ke Istana Presiden di Jakarta mengadukan masalah tanah baru-baru ini, tetapi belum juga selesai.

Presiden Jokowi juga menyadari rumitnya konflik agraria ini. Sehingga untuk mencegahnya, pemerintah sudah mempermudah pengurusan sertifikat hak milik tanah yang sebelumnya sangat sulit untuk mendapatkannya. Jokowi pun menargetkan jutaan sertifikat tanah rakyat secara gratis. Bahkan di periode kedua pemerintahannya diharapkan semua tanah rakyat sudah terdaftar dan memiliki sertifikat hak milik.

Sayangnya, meskipun tanah rakyat sudah bersertifikat, tetapi masalah ribuan hektare tanah eks HGU sampai saat ini juga belum tuntas dibagikan kepada masyarakat yang berhak sesuai arahan Presiden Jokowi. Padahal secara de facto, tanah eks HGU tersebut sudah banyak yang diusahai dan dikuasai para penggarap dan mafia-mafia tanah.

Diduga karena banyak kepentingan yang harus diakomodir, ditambah lagi keterlibatan para mafia di belakang layar, maka sulit menuntaskannya. Padahal sudah puluhan tahun sertifikat HGU nya tidak diperpanjang lagi, tetapi masalahnya belum tuntas juga.

Begitu juga Gubernur Sumut yang diberi wewenang membaginya, sudah beberapa kali berganti tetapi belum juga selesai.

Tidak bisa dipungkiri bahwa tanah eks HGU PTPN II yang tersebar di Medan, Deliserdang, Binjai dan Langkat itu memang menjadi incaran para pemodal. Nilai tanahnya pun sudah seperti emas dan petro dolar, sehingga menjadi incaran para mafia tanah dan cukong. Tidak kelihatan, tetapi langkah-langkah dan strategi mereka sangat terasa.

Baru-baru ini juga terkabar bahwa sebagian dari 300 Ha tanah eks HGU PTPN II yang sudah dibeli Pemprov Sumut untuk lokasi Sport Center, digugat dan dimenangkan masyarakat di Mahkamah Agung. Padahal sebelumnya tanah itu adalah HGU PTPN II yang sudah habis masa berlakunya, bisa dikuasai dan dimenangkan petani.

Anehnya Pemprovsu juga tetap akan membangun Sport Center sebagai persiapan PON 2024 di atas tanah yang masih bermasalah itu. Diperkirakan masalah baru pun bakal muncul lagi, membuat Gubernur kesal karena sering dilaporkan terkait eks HGU itu. Padahal menurutnya, tanah Sport Center itu telah diketok Presiden Jokowi.

Demikian halnya lahan eks HGU lainnya yang masih diusahai petani. Jika dijual kepada petani dengan harga pasar, maka petani tidak akan mampu membelinya. Akhirnya yang kelihatan di depan dan berulangkali demo adalah petani, tetapi di belakangnya diduga adalah mafia tanah dan cukong.

Selain tanah eks HGU sebagai penyumbang konflik agraria di Sumut, juga masih banyak konflik lainnya yang melibatkan kepentingan masyarakat. Di antaranya, pembebasan tanah untuk jalan tol Medan-Binjai yang sampai saat ini belum clear, pembebasan kawasan Kaldera Toba dan konflik lainnya yang dituding merugikan rakyat. Padahal rakyat pun perlu disadarkan agar tidak ikut-ikutan memperkeruh keadaan, demi pembangunan di Sumut. Jangan sampai ikut-ikutan memperebutkan tanah yang bukan haknya.

Konflik agraria dapat terselesaikan melalui kebersamaan antara rakyat dengan pemerintah. Apalagi konsep pembangunan di era Jokowi yang memanfaatkan tanah rakyat, maka yang didapatkan bukan lagi ganti rugi tetapi ganti untung. Masyarakat harus mensyukurinya, sehingga diharapkan konflik agraria di Sumut dapat diselesaikan dengan menguntungkan rakyat, karena tujuan pembangunan itu juga untuk rakyat. (*)

Sumber
: Harian SIB Edisi Cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru