Kota Medan sekitarnya kemarin dilanda banjir setelah hujan deras mengguyur kawasan Sumut pada malam harinya. Banjir kali ini lumayan parah, tinggi dan luas, sehingga menimbulkan korban jiwa dan materi yang cukup besar.
Menurut laporan berbagai pihak, banjir kali ini yang melanda Kota Medan, Kabupaten Deliserdang, Kota Binjai dan sekitarnya terparah sejak 5 atau 10 tahun ini. Hujan yang hampir setiap hari mengguyur kawasan Sumut mengakibatkan daya tampung sungai tak mampu menyimpan debit air yang tinggi. Bahkan tanggul sungai pun jebol, mengakibatkan kawasan di sekitar bantaran sungai tenggelam, ada yang mencapai 5 hingga 6 meter.
Ribuan rumah tenggelam, sehingga ribuan orang juga menyelamatkan diri menaiki loteng atau atap rumahnya masing-masing. Bagi yang sempat mengevakuasi diri ke tempat lebih aman, diungsikan ke berbagai tempat penampungan.
Sementara itu, Kepala Kantor SAR Medan Toto Mulyono menjelaskan, tinggi banjir di Tanjung Selamat Medan Tuntungan menjadi kendala saat evakuasi jenazah.
Menurut Toto, ketinggian di lokasi banjir mencapai 3 - 6 meter.
"Tim pada saat awal menerima informasi pada 00.20 WIB, memang ketinggian air sangat tinggi, bahkan di jalan raya saja sudah 1 meter," kata Toto.
Banjir bandang di sejumlah wilayah di Medan diduga dipicu hujan deras pada Kamis malam hingga Jumat dinihari.
Hujan deras itu membuat bagian hulu Sungai Deli meluap hingga ke arah hilir.
Menurut salah seorang warga Lingkungan IV, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun, Herawati, banjir kali ini sangat parah.
"Biasanya tidak akan sebesar ini. Ini kiriman dari hulu juga," kata Herawati saat ditemui, Jumat pagi.
Sementara itu Komunitas Kopi Institut Teknologi Bandung (ITB) pernah menggelar diskusi untuk mencari solusi dari permasalahan banjir yang terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Mungkin diskusi ini bisa juga diterapkan dan jadi solusi banjir Mebidang (Medan, Binjai, Deliserdang).
Dalam diskusi tersebut beberapa pakar dengan berbagai latar belakang pendidikan menawarkan beberapa solusi.
Ahli Hidrodinamika ITB Muslim Muin menawarkan solusi Gerakan Lumbung Air (Gela). Menurutnya, Gela merupakan solusi yang murah dan tidak membutuhkan biaya banyak. “Gela itu, tangkap, resapkan, gunakan dan sisanya baru dibuang,†ujarnya.
Ahli Meteorologi ITB Armi Susandi menawarkan tiga solusi untuk mengatasi banjir. Pertama, kesiapsiagaan banjir, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Perlu adanya riset mengenai cara membuat sistem informasi yang baik. Kedua, konsep naturalisasi dan normalisasi sungai. Konsep ini bagus dua-duanya, hanya butuh lahan untuk naturalisasi, karena teorinya perlu lahan kiri kanan sungai, dan harus menggusur penduduk. Solusi ketiga, Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).
Sedangkan Ahli Perencanaan Kota dan Wilayah ITB Jehansyah Siregar membenarkan kata budayawan Ridwan Saidi yang mengatakan bukan airnya yang masuk ke perumahan, tapi perumahannya lah yang masuk daerah air. Itu yang terjadi di Jakarta dan sudah mulai terjadi juga di kawasan Medan dan sekitarnya.
Dari sisi permukiman, Jehan menyatakan, normalisasi dengan betonisasi hanya sedikit mengambil lahan sempadan sungai yang sudah diduduki warga. Sedangkan naturalisasi benar-benar mengembalikan penampang sungai baik palung maupun kedua sempadannya ke ukuran alami semula. Sudah ada Undang-Undang Sumber Daya Air, lebarnya kanan dan kiri 50 meter. Kalau di luar kota 200 meter. Undang-undang juga mengatakan bahwa DAS itu harus menyediakan sempadan sungai dan palung sungai.
Normalisasi juga harus diiringi dengan penggantian lahan dan relokasi penduduk yang seperlunya saja, yaitu sebanyak satu jalur deret bangunan yang paling pinggir sungai. Sedangkan naturalisasi menuntut adanya penataan pemukiman yang lebih luas dan komprehensif.
Banjir besar akhir tahun ini menjadi terapi kejut kepada semua pihak di Sumut maupun pemerintah pusat, agar tidak "main-main" dengan wilayah Sumut yang sangat rawan bencana alam. Kalau tidak bergerak cepat mengantisipasinya, segala kemungkinan yang lebih parah bisa saja terjadi lagi.
Semua pihak terkait harus sungguh-sungguh dengan perencanaan dan penelitian yang tepat untuk mendapatkan solusi pembangunan terbaik dalam mengantisipasi dan mengatasi bencana. Dibutuhkan pemimpin yang cerdas, fokus dan sungguh-sungguh agar mengajak semua komponen dan masyarakat turut berpartisipasi mendapatkan solusi.
Bagi masyarakat, tak ada pilihan lain untuk mencintai alam sebagai sumber kehidupan. Lestarikan alam, baik diminta maupun tidak. Kalau tidak mencintai alam dan lingkungan, berarti tidak mencintai diri sendiri dan keluarga. (***)
Sumber
: Harian SIB Edisi Cetak