Kondisi pekerja Indonesia ternyata masih belum menggembirakan. Dari segi kuantitas, kita memang menang tetapi dari segi kualitas dan produktivitas sangat rendah, kalah dengan pekerja Filipina, Vietnam dan negara-negara lainnya yang berpenghasilan menengah ke bawah.
Kondisi pekerja yang diungkapkan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah ini dikutip dari Jetro Survei 2020 yang dilakukan kepada para pelaku usaha. Selain produktivitas rendah, ternyata mayoritas pelaku usaha merasa bahwa nilai upah minimum yang ditetapkan di Indonesia tidak sepadan dengan produktivitas yang dihasilkan oleh pekerja.
Angka-angka ini sungguh sangat mengkhawatirkan di tengah-tengah bonus demografi akibat tingginya pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja setiap tahunnya yang tidak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja. Akibatnya, bonus demografi bukan lagi keuntungan bagi Indonesia tetapi akan menjadi sumber masalah yang bisa mengganggu stabilitas karena tingginya angka pengangguran.
Sebenarnya hal ini bisa diatasi jika pertumbuhan angka investasi, baik dari dalam negeri maupun asing dapat ditingkatkan. Sayangnya peringkat kemudahan berusaha Indonesia saat ini juga justru sangat rendah, berada di peringkat 73, jauh di bawah Singapura yang berada di peringkat 2, Malaysia peringkat 12, hingga Vietnam di peringkat 70. Bahkan dalam aspek kemudahan mendirikan usaha, kita masuk peringkat 140, juga jauh di bawah negara-negara pesaing.
Ketiga permasalahan tersebut mendesak untuk diselesaikan karena terkait satu sama lain. Salah satu jalan keluar mengatasi persoalan itu sekaligus sebenarnya sudah dilakukan pemerintah, yaitu dengan disahkannya UU Cipta Kerja. UU itu memberikan kemudahan kepada investor menanamkan modalnya di Indonesia.
Namun masalah belum serta merta selesai, karena UU itu ditentang habis-habisan oleh para pekerja karena dinilai terlalu berpihak kepada investor dengan mengurangi hak-hak pekerja. Selain pekerja, sejumlah kalangan yang berseberangan dengan pemerintah juga turut berperan agar UU yang juga sudah diterapkan di negara lain batal dilaksanakan.
Pemerintah tentu sudah mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan dari setiap kebijakannya, khususnya dalam masalah ketenagakerjaan ini. Para pekerja merasa dirugikan karena hak-haknya dikurangi, namun di sisi lain pemerintah harus menyediakan lowongan bagi tenaga kerja baru dan pengangguran yang terus bertambah setiap tahunnya. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai puluhan juta dan belum siap pakai.
Anehnya, sebagian tenaga kerja baru ini merasa bahwa hal itu adalah tugas pemerintah semata. Padahal kualitas tenaga kerja baru sekarang, mayoritas sangat kurang produktif dan kurang berkualitas, sehingga digaji dengan upah minimum pun tidak layak, sebagaimana hasil survei tersebut.
Program ketenagakerjaan yang sudah dilakukan pemerintah tentu sudah sangat baik. Di antaranya, memberikan kartu prakerja sebagai upaya meningkatkan kualitas dan produktivitas pekerja sehingga lebih mudah mencari kerja mampu berwirausaha. Diharapkan program ini terus ditingkatkan dengan pemberian pelatihan-pelatihan kerja sesuai bidangnya, sehingga keluhan akan rendahnya produktivitas dan kualitas pekerja kita ini dapat diminimalkan.
Selain itu, pemberian subsidi gaji sebagai bantuan langsung tunai kepada jutaan pekerja di masa pandemi Covid-19 ini juga sangat baik, tidak saja bagi pekerja tetapi juga menjaga kelangsungan usaha dan kemudahan berusaha. Semua berharap program ini terus dilanjutkan sampai kondisi normal atau sampai pandemi ini berakhir.
Selain itu, untuk mengatasi membludaknya tenaga kerja baru yang kurang produktif, maka kalangan perguruan tinggi juga harus terlibat aktif. Kementerian dan Dinas Tenaga Kerja harus mengupayakan adanya komunikasi yang intens antara pengusaha dan perguruan tinggi, sehingga tahu lulusan yang dibutuhkan. Sehingga lulusan perguruan tinggi tidak hanya jago di jalan tetapi harus menunjukkan kejagoannya di tempat kerja dengan produktivitas tinggi. Jangan sampai upah minimum pun tak layak kita terima, sangat menyedihkan. (*)
Sumber
: Hariansib edisi cetak