Ketika menyebut kata "Ibu", tergambar sosok mulia, penyayang dan panutan ada di benaknya. Sosok yang tak mungkin tergantikan dalam hidup kita. Sehingga sangat layak diperingati bangsa Indonesia setiap tahun, tepatnya pada tanggal 22 Desember.
Tahun ini, Hari Ibu jatuh pada Selasa 22 Desember 2020 yang mengusung tema "Perempuan Berdaya Indonesia Maju".
Peringatan Hari Ibu merupakan upaya bangsa Indonesia untuk mengenang dan menghargai perjuangan perempuan Indonesia dalam merebut dan mengisi kemerdekaan.
Dikutip dari Buku Panduan Pelaksanaan Peringatan Hari Ibu ke-92 Tahun 2020 yang dirilis Kemen PPPA, lahirnya Peringatan Hari Ibu tak lepas dari perjuangan para perempuan Indonesia.
Bibit kebangkitan perjuangan perempuan Indonesia telah dimulai sebelum masa kemerdekaan, yang ditandai perjuangan pendekar perempuan di berbagai tempat di Indonesia, seperti Tjuk Njak Dien di Aceh, Nji Ageng Serang di Jawa Barat, RA Kartini di Jawa Tengah, serta masih banyak lagi yang lain.
Dalam kurun waktu setelah kelahiran Budi Utomo pada tahun 1908, banyak lahir perkumpulan perempuan di berbagai tempat, seperti Aisiyah, Wanita Katolik, Putri Merdeka dan lain-lain.
Gema Sumpah Pemuda dan lantunan lagu Indonesia Raya yang pada tanggal 28 Oktober 1928 digelorakan dalam Kongres Pemuda Indonesia, menggugah semangat para pimpinan perkumpulan kaum perempuan untuk mempersatukan diri dalam satu kesatuan wadah mandiri.
Pada saat itu, sebagian besar perkumpulan masih merupakan bagian dari organisasi pemuda pejuang pergerakan bangsa.
Atas prakarsa para perempuan pejuang pergerakan kemerdekaan pada 22-25 Desember 1928, diselenggarakanlah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Yogyakarta.
Satu dari beberapa hasil kongres itu yakni terbentuknya satu organisasi federasi yang mandiri dengan nama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI).
Melalui PPPI tersebut terjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan untuk secara bersama-sama kaum laki-laki berjuang meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, dan berjuang bersama-sama kaum perempuan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang maju.
Pada 1929 Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII).
Pada 1935, diadakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta.
Kongres tersebut di samping berhasil membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia, juga menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya.
Lalu pada 1938, Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Hari Ibu dikukuhkan Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur tertanggal 16 Desember 1959, yang menetapkan bahwa Hari Ibu tanggal 22 Desember merupakan hari nasional dan bukan hari libur.
Tahun 1946, badan ini menjadi Kongres Wanita Indonesia disingkat KOWANI, yang sampai saat ini terus berkiprah sesuai aspirasi dan tuntutan zaman.
Hari Ibu oleh bangsa Indonesia diperingati tidak hanya untuk menghargai jasa-jasa perempuan sebagai seorang ibu, tetapi juga jasa perempuan secara menyeluruh, baik sebagai ibu dan istri maupun sebagai warga negara, warga masyarakat dan sebagai abdi Tuhan Yang Maha Esa, serta sebagai pejuang dalam merebut, menegakan dan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan nasional.
Semangat perjuangan kaum perempuan Indonesia tersebut sebagaimana tercermin dalam lambang Hari Ibu berupa setangkai bunga melati dengan kuntumnya, yang menggambarkan: kasih sayang kodrati antara ibu dan anak; kekuatan, kesucian antara ibu dan pengorbanan anak;
kesadaran wanita untuk menggalang kesatuan dan persatuan, keikhlasan bakti dalam pembangunan bangsa dan negara.
Kini dan ke depan, peran seorang ibu semakin sangat dibutuhkan. Selain memberi semangat dan motivasi yang tak terlepas dari doa-doanya, peran seorang ibu sangat menentukan masa depan bangsa. Karena seorang ibu memiliki nurani sangat tinggi mengasihi anak-anak dan keluarganya. Dimana keluarga sebagai penentu baik buruknya setiap individu, yang notabene menjadi penentu keadaan lingkungan dan bangsanya.
Lihat saja dalam iklan layanan masyarakat pencegahan Covid-19, pesan seorang ibu ditampilkan untuk mengingatkan kita agar tetap melaksanakan protokol kesehatan. Artinya, ibu juga sangat berperan dalam mengakhiri pandemi Covid-19 yang sudah menghancurkan hampir semua sendi kehidupan kita. Sosok ibu sangat dipercaya agar semua patuh menjalankan nasihatnya.
Meski memiliki hati nurani yang tinggi, seorang ibu merupakan manusia biasa yang banyak kekurangannya. Apalagi dalam budaya timur, ibu sebagai seorang perempuan kerap masih terdiskriminasi dalam banyak hal. Selalu dinomorduakan dalam masalah ilmu, pendidikan atau kepemimpinan. Sehingga bisa dikatakan kontradiktif antara perlakuan dan harapan.
Kita terlalu banyak berharap kepada seorang ibu, sampai masa depan bangsa ada di tangannya. Terlau berat beban di pundaknya. Namun di satu sisi masih sangat banyak hak-haknya yang diabaikan. Apakah ini relevan?
Harapan yang tinggi untuk seorang ibu seharusnya diimbangi dengan "pemberian" yang pantas untuknya. Berikan hak-haknya sebanding dengan pria, terutama di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan buah pikirnya. Jangan mengharapkan banyak dari perempuan (ibu), kalau dalam kenyataan hak-haknya masih sangat terbatas. Bila seorang ibu yang memiliki hati nurani tinggi setara dengan kualitas yang tinggi pula, tentu harapan itu tidak sekadar tinggal harapan. Masa depan bangsa yang ada di genggamannya akan menjadikan Indonesia maju. (***)
Sumber
: Hariansib edisi cetak