Kejahatan di Indonesia masih belum dapat dikendalikan, termasuk di Sumatera Utara. Hal ini ditandai dengan penuhnya rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan. Bahkan di Sumut sudah over kapasitas sampai 300 persen. Sehingga tidak terbayangkan bagaimana kondisi kesehatan para napi yang hidup di ruangan sempit dengan berdesak-desakan itu.
Rupanya bukan hanya penjara di Sumut yang penuh, tetapi juga seluruh penjara di Indonesia, kecuali Nusakambangan. Namun yang terbanyak adalah di Sumut, mencapai 29.000 tahanan. Solusi yang dilakukan Kemenkumham Sumut mengatasi kepadatan napi itu, kata Kepala Divisi Pemasyarakatan, Pujo Harinto, adalah memindahkan 48 tahanan kasus narkoba ke Nusakambangan. Tahanan ini dinilai beresiko tinggi (high risk) yang dihukum mulai dari 7 tahun penjara hingga dihukum mati.
Secara rinci memang tidak diuraikan kasus-kasus yang dilakukan para napi itu hingga meringkuk di tahanan. Namun dari pemberitaan media, baik media cetak, media online maupun media sosial, kasus-kasus yang mendominasi di Sumut selama ini adalah narkoba, begal dan kriminal umum lainnya serta kasus korupsi yang menjerat para pelaku, baik pejabat, anggota dewan dan swasta.
Anehnya, dan sekaligus juga sangat menyedihkan adalah, para pelaku kejahatan itu, khususnya narkoba dan begal banyak melibatkan para pemuda dan anak-anak remaja. Padahal mereka seharusnya ada di bangku kuliah dan sekolah untuk mendapatkan pendidikan, pembinaan mental dan spritual, sebagai bekal masa depannya.
Jumlah tahanan yang tertinggi ini, sekaligus juga menunjukkan bahwa kejahatan di Sumut merupakan yang tertinggi di Indonesia. Hal ini sungguh mengkhawatirkan, bahkan bisa menyeramkan bagi para pengunjung ke Sumut, terutama para wisatawan domestik maupun mancanegara, sehingga harus segera ditanggulangi.
Selama ini memang sudah ada upaya untuk mencegah dan meredam peningkatan kejahatan itu, namun pelaku kejahatan masih terus meningkat. Aparat yang selama ini ditugasi negara menanganinya, seperti kepolisian, BNN, dinas terkait di pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sudah melakukan upaya preventif, maupun represif dalam penanganan kejahatan.
Preventif dilakukan melalui upaya-upaya penyuluhan hukum dan ceramah-ceramah. Sedangkan upaya represif dengan cara persuasif maupun koersif (sanksi tegas) dengan menangkap dan memberi sanksi hukum bagi para pelaku.
Namun kelihatannya strategi yang ditetapkan dalam pelaksanaan penanggulangan kejahatan itu belum mampu meredam tingkat kejahatan di Sumut. Sehingga perlu evaluasi menyeluruh, apakah cara penangananya yang kurang tepat (pas) atau oknum aparat yang menanganinya tidak komitmen dan konsisten atau pilih kasih dalam melakukan tindakan.
Dalam hal pencegahan kejahatan, maka perlu melibatkan tokoh-tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh adat, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat secara aktif. Pendekatan para tokoh itu tidak boleh dilakukan secara sporadis, tetapi perlu dilakukan perhatian secara rutin bagi para pelaku dan keluarganya. Sehingga diharapkan akan timbul rasa malu sehingga tidak mengulangi melakukan kejahatan.
Melalui pendekatan yang dilakukan para tokoh itu, maka bisa dicarikan jalan keluar agar para pelaku kejahatan mendapat kesempatan mengembangkan kreativitas dan kemampuannya di dunia kerja. Pelatihan, pembinaan dan penyediaan lapangan kerja akan mencegah mereka melakukan kejahatan.
Sedangkan penanganan secara represif yang sudah dilakukan para penegak hukum selama ini, seperti melakukan tindakan tegas secara terukur, juga perlu ditingkatkan, khususnya bagi mereka yang sudah berulangkali melakukan kejahatan. Diharapkan tindakan tegas aparat kepolisian ini dapat menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan mencegah yang lainnya melakukan kejahatan yang sama.
Selain itu, pengusutan, tindakan dan keputusan para penegak hukum kepada para pelaku kejahatan juga jangan sampai mengabaikan rasa keadilan di masyarakat. Jangan sampai pelaku kasus-kasus kecil dihukum berat, sementara pelaku kasus-kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat malah dihukum ringan. Jika hal itu dilakukan, maka penjara pun akan terus penuh dengan tahanan. Akibatnya anggaran negara untuk membiayai para tahanan akan terus meningkat. (*)
Sumber
: Hariansib edisi cetak