Secara sederhana, fase kehidupan manusia dimulai dari masa anak-anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Untuk mempertahankan regenerasi, maka setiap fase tidak boleh terganggu dan terputus pertumbuhannya, tetapi harus diselamatkan, khususnya dari kekerasan (predator) yang membahayakan.
Dari keempat fase tersebut, maka fase anak-anak dan remaja paling riskan dan lemah dalam penjagaan dirinya, sehingga mereka harus dilindungi. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir kasus-kasus kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual terus meningkat. Diduga terkait dengan dampak teknologi digital yang memudahkan pelaku dan anak mengakses informasi yang seharusnya tidak layak dikonsumsi.
Indikasi peningkatan kekerasan seksual pada anak terungkap dari permohonan perlindungan masyarakat kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hampir setiap minggu, setidaknya ada 4 kasus kekerasan seksual yang ditangani. Angkanya terus meningkat secara signifikan sejak 2016-2020.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), kasus kekerasan seksual kepada anak sebagai korban menduduki peringkat pertama. Data Januari-31 Juli 2020 saja ada 2.556 kasus kekerasan seksual pada anak. Bahkan hingga 18 Agustus 2020, angka itu meningkat tajam menjadi 4.833 kasus. Angka-angka itu tentu sangat mengkhawatirkan, sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin.
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, salah satu faktor penyebabnya adalah pengaruh perkembangan teknologi digital. Pelaku terinspirasi dari konten pornografi yang ada di medsos, internet, HP dan produk digital lainnya. Pengaruh dunia digital memang sangat luar biasa. Bahkan anak-anak pun lebih fasih menggunakannya, dan menggandrunginya.
Padahal dunia digital sudah tidak mungkin terhindari. Apalagi selama ini yang banyak beredar adalah informasi produk-produk digital yang terus berkembang. Promosi dan iklan produk-produk digital sangat menggiurkan. Namun bagaimana dampak baik buruknya hampir tudak pernah dijelaskan. Hal itulah yang membuat banyak orang terpapar dampak negatifnya, kemudian anak menjadi sasaran kejahatan seksual.
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) memang sudah melakukan pencegahan melalui pemblokiran konten pornografi, namun tetap sulit diredam. Ribuan konten porno diblok, tapi pertumbuhannya tetap tidak terkendali. Pencegahan melalui pemblokiran kelihatannya tidak mempan lagi. Diduga itulah penyebab pemerintah mengeluarkan PP untuk menghukum keras para predator seksual anak dengan hukuman kebiri.
Selain mengatur tata cara kebiri, PP No.70/2020 yang diteken Presiden Jokowi pada 7 Desember 2020 itu, juga mengatur pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Suatu langkah tegas penyelamatan anak dari kekerasan seksual yang patut diapresiasi. Diharapkan dengan berlakunya PP ini maka bisa menimbulkan efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual sekaligus mencegah terjadinya kekerasan itu.
Selain menghukum kebiri, pengumuman identitas para pelaku melalui media cetak, media elektronik dan media digital lainnya diharapkan juga dapat menimbulkan rasa malu, baik bagi diri pelaku sendiri maupun keluarganya. Hal ini patut didukung dan diapresiasi.
Namun meskipun pemerintah telah bersikap tegas kepada para pelaku, tetapi para orang tua sebagai guru pertama anak di rumah juga harus berperan memberikan literasi dan pendidikan kepada anak. Anak harus diajar apa dan bagaimana media digital itu, sehingga sedini mungkin kasus-kasus yang dapat merusak masa depannya lewat digital dapat dicegah.
Demikian halnya dalam pendidikan formal di sekolah, maupun pendikan moral yanf non formal melalui pemimpin umat/agama dan pendidikan agama di rumah-rumah ibadah, juga harus didorong memberikan literasi kepada anak dampak bahaya produk teknologi digital. Sehingga masa depan anak dapat diselamatkan dan terhindar dari masalah sosial yang mengkhawatirkan ini. (*)
Sumber
: Hariansib edisi cetak