Perhatian pemerintah kepada masyarakat miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan sangat besar. Tujuannya tentu untuk membantu masyarakat yang kesulitan, terutama bagi yang terdampak Covid-19.
Untuk tahun 2021 ini, pemerintah telah mengalokasikan Rp110 triliun pada APBN untuk melanjutkan program perlindungan sosial. Di antaranya berupa bansos reguler untuk 18,8 juta keluarga dalam bentuk kartu sembako atau BPNT sebesar Rp45,1 triliun. Kemudian PKH kepada 10 juta keluarga penerima manfaat sebesar Rp28,7 triliun.
Sementara dana bansos non reguler akibat pandemi Covid-19 juga akan disalurkan dalam bentuk tunai (BLT) bagi 10 juta keluarga sebesar Rp12 triliun. Tiap-tiap keluarga akan mendapatkan Rp.300.000 per bulan selama 4 bulan. Bansos non reguler lainnya adalah BLT Dana Desa sebesar Rp14,4 triliun, program kartu pekerja Rp10 triliun dan subsidi listrik selama 6 bulan sebesar Rp3,78 triliun.
Hal yang menggembirakan, baik bansos yang reguler maupun non reguler akan disalurkan awal Januari 2021. Namun perlu dipastikan agar bansos itu tepat sasaran, jangan sampai ada potongan dan jangan sampai disalahgunakan. Sehingga bantuan itu dapat menjadi pengungkit daya beli masyarakat yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.
Perhatian pemerintah ini patut diapresiasi, termasuk bantuan untuk dana desa. Pemerintah sangat memperhatikan kehidupan masyarakat dan berupaya agar perekonomian di pedesaan tidak tertinggal. Sehingga dari awal pemerintahannya, Jokowi telah membentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) tahun 2014 lalu. Bahkan di periode kedua Jokowi, Kementerian ini dipimpin seorang menteri dibantu seorang wakil menteri.
Selain bansos bantuan langsung tunai, pemerintah juga setiap tahun mengalokasikan peningkatan anggaran desa dari APBN. Kalau tahun 2019 mencapai Rp70 triliun, maka tahun 2020 meningkat menjadi Rp72 triliun dengan perincian Rp960 juta untuk setiap desa. Untuk mempercepat pengelolaannya, maka dana tersebut juga langsung disalurkan ke rekening pemerintahan desa, tidak melewati pemerintahan di atasnya sebagaimana sebelumnya.
Khusus Sumatera Utara memiliki 5.417 desa (data 2019), namun baru 4 desa yang berstatus desa mandiri, 195 desa maju, 2.450 desa berkembang, 2.045 desa tertinggal dan 723 desa sangat tertinggal. Sementara alokasi dana desa tahun ini hanya Rp4,5 triliun atau rata-rata Rp900 juta setiap desa.
Melihat status desa yang ada di Sumut yang didominasi desa berkembang, tertinggal dan sangat tertinggal, maka penggunaan dana desa ini harus benar-benar tepat sasaran. Sehingga apa yang diharapkan pemerintah untuk membuat ekonomi di desa menggeliat dan bertumbuh dapat tercapai.
Dengan adanya pengalokasian dana desa secara rutin dan berkesinambungan, baik dari pusat maupun pemprov dan pemkab, maka seharusnya dalam 5 tahun terakhir sudah ada peningkatan perekonomian desa secara signifikan. Namun jika dana itu tidak tepat sasaran, maka perbaikan ekonomi yang diharapkan akan sulit tercapai.
Terkait penggunaan dana desa di Sumut, Gubernur Edy Rahmayadi juga pernah kecewa karena penggunaannya masih ada yang tidak tepat sasaran. Pihaknya menemukan penggunaan dana desa untuk kegiatan tidak produktif, salah satunya adalah kegiatan bimbingan teknis (Bimtek) ke luar daerah yang menyedot anggaran besar.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Bimtek, karena hal itu juga menjadi suatu keharusan dan penting bagi aparat desa dalam manajemen penggunaan anggaran dan pelaporannya. Tentu harus ada panduan dan keseragaman dalam pelaporannya sehingga tidak sampai menjerat aparat pemerintahan desa karena kurang memahami administrasi.
Kita yakin bahwa ide menyelenggarakan Bimtek hingga jauh-jauh ke luar daerah bukan inisiatif Pemerintahan Desa. Sudah barang tentu ada koordinasi dan restu dari Pemkab. Termasuk dalam menentukan lembaga yang terlibat kerjasama dalam Bimtek ini. Sehingga kurang tepat kesalahan atas kegiatan kurang produktif ini ditimpakan ke Pemerintahan Desa.
Ke depan kita harapkan penggunaan dana desa ini digunakan untuk kegiatan yang produktif secara berkesinambungan, sehingga masyarakat pedesaan dapat merasakan manfaatnya secara maksimal. Sedangkan pelaksanaan Bimtek tidak perlu harus jauh-jauh ke luar kota hingga ke Bali, karena bisa dianggap sebagai "plesiran" dan penghambur-hamburan dana desa. (*)
Sumber
: Hariansib edisi cetak