Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 14 Juli 2025

Membangun (Lagi) Kepercayaan Masyarakat

Redaksi - Sabtu, 30 Januari 2021 10:33 WIB
954 view
Membangun (Lagi) Kepercayaan Masyarakat
Internet
Ilustrasi
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia tahun 2020 turun jauh dibanding 2019. IPK turun 3 poin dari tahun 2019 yang mendapatkan skor 40.

Melorotnya skor IPK itu membuat peringkat Indonesia juga turun drastis dari posisi 85 ke 102 dari 180 negara. Indonesia tercatat pada peringkat yang sama dengan Gambia.

Jika tahun 2019 lalu kita berada pada skor 40 dan rangking 85, pada 2020 berada di skor 37 dan rangking 102. Hal in diungkap Peneliti TII Wawan Suyatmiko, dalam Peluncuran IPK 2020 yang disiarkan secara virtual, Kamis (28/1).

IPK atau CPI ini dihitung oleh Transparency International dengan skala 0-100, yaitu 0 artinya paling korup, sedangkan 100 berarti paling bersih.

Menurunnya persepsi masyarakat dan dunia internasional terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tentu disebabkan beberapa hal. Menurut Menko Polhukam Mahfud Md hal itu sangat terkait dengan kontroversi Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Secara umum ini dianggap sebagai sebuah produk hukum yang akan melemahkan pemberantasan korupsi. Sehingga terjadi kontroversi dan penolakan dari pegiat anti korupsi. Seperti diketahui, KPK waktu itu juga telah mengidentifikasi 26 hal yang berisiko melemahkan KPK dalam revisi UU KPK tersebut.

Pelemahan itu antara lain, KPK diletakkan sebagai lembaga negara di bagian eksekutif yang akan mengurangi independensi dan pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara, sehingga ada risiko tidak independennya pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya.

Selain itu, bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggungjawab tertinggi dihapus; pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum, sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro yusticia dalam pelaksanaan tugas penindakan.

Keberadaan dewan pengawas juga dinilai lebih berkuasa daripada pimpinan KPK, namun syarat menjadi pimpinan KPK lebih berat dibanding dewan pengawas.

Kemudian kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Padahal standar larangan etik, dan anti konflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK.

Kondisi ini yang paling membuat menurunnya IPK, sehingga dibutuhkan pembuktian bahwa upaya pemberantasan korupsi masih tetap tinggi, meski Undang Undang KPK yang baru sudah disahkan.

Namun sejauh ini belum ada hasil signifikan upaya pemberantasan korupsi dari pelaksanaan UU KPK yang baru itu. Penangkapan para koruptor tidak lagi segencar dan sebanyak dulu. Bahkan ada penangkapan tapi pengusutannya terkesan lamban dan tidak prioritas. Bila tak disorot media bisa saja hilang ditelan masa.

Belum lagi dengan banyaknya "diskon" hukuman bagi para narapidana korupsi. Banyaknya pengurangan hukuman lewat remisi dan lainnya terkesan seolah-olah koruptor dilindungi karena masih memiliki banyak uang. Jadi hal ini mengembangkan persepsi buruk dan tidak ada lagi efek jera bagi koruptor sehingga tetap eksis di masyarakat. Seiring dengan itu, para pejabat atau berbagai pihak yang punya peluang, tidak bakal takut lagi bertindak untuk melawan hukum.

Lihat saja berita baru-baru ini tentang fenomena terpidana korupsi ramai-ramai mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 2020. Setidaknya ada 65 koruptor mengajukan PK. Mereka berani melakukan ini tentu memiliki dasar atau peluang yang kuat supaya hukumannya bisa lebih ringan. Tentu sebuah pertanda kepercayaan masyarakat semakin luntur dengan penegakan hukum yang adil.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) memang hanya sebuah pandangan publik dan pandangan ilmu. Namun bila tidak dijadikan sebagai sarana introspeksi, kita bisa kembali runtuh. Kepercayaan masyarakat akan hilang dan berujung pada mandeknya sebuah kekuasaan atau negara. Bangunlah kembali kepercayaan publik dengan sungguh-sungguh agar tujuan membangun bangsa bisa tercapai. (***)

Sumber
: Hariansib edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru