Pakar sosiologi bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir berpendapat, Presiden Joko Widodo sangat kecewa dengan tim penanganan pandemi sehingga mampu menyatakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tidak efektif.
Menurut dia, tadinya Presiden Jokowi mungkin berpikir PPKM bisa menjadi pendekatan baru yang lebih efektif karena skalanya Jawa-Bali. Namun faktanya justru membuktikan bahwa PPKM terlalu lemah dalam membatasi pergerakan penduduk.
Hal ini tercermin dari masih banyaknya penambahan kasus harian Covid-19. Bahkan, kasus harian telah menembus angka 1 juta, dan kasusnya tertinggi di Asia.
Sebenarnya keadaan yang dikecewakan itu sudah diduga dari awal, selain PPKM tak efektif, kesadaran masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan (Prokes) sangat rendah. Banyak yang sadar dan tak sedikit pula yang parno, namun sangat banyak pula yang tak peduli dengan Covid-19.
Memang sangat berat tugas pemerintah (Tim Gugus Tugas) dalam menangani pandemi ini. Melawan mahluk yang tak dapat dilihat secara kasat mata, tapi bisa membunuh banyak orang. Di satu sisi dituntut untuk secara gencar menjaga kesehatan masyarakat, di satu sisi juga menjaga perekonomian. Boleh dibilang penanganan keduanya dilakukan dengan bertolak belakang, tapi dengan tujuan yang sama kesejahteraan masyarakat.
Menyelamatkan jiwa manusia agar tidak terpapar Covid dengan menghindarkan kontak fisik dan menjaga jarak, sehingga PPKM harus dilakukan dan memakan biaya yang tidak sedikit. Sementara dengan kondisi begini perputaran ekonomi jadi melambat dan biaya untuk penanganan pandemi pun sulit didapat.
Siapa pun akan kecewa bila usaha dengan biaya besar tapi hasilnya tak ada. Sehingga pemerintah harus mengevaluasi PPKM, masih dijalankan atau dihentikan. Memilih kedua alternatif ini sungguh tak mudah, karena banyak konsekuensinya.
Diperlukan formulasi yang jitu dan brilian, karena hingga saat ini belum ada satu pun negara di dunia yang berhasil melawan pandemi ini. Memang ada beberapa negara yang dianggap paling berhasil mengendalikan, namun tidak bisa dijadikan contoh oleh negara lainnya. Karena kondisi di setiap negara berbeda.
Upaya untuk mengendalikan pandemi dan menyelamatkan ekonomi bukan hal mudah dan tidak bisa asal jalan. Perlu penelitian, data, kerja keras turun langsung ke lapangan, biaya dan sebagainya. Kerja keras seperti ini belum terbiasa dilakukan pejabat dan masyarakat. Biasanya "kerja setengah hati" tapi menghasilkan yang lumayan. Hal ini sudah membudaya.
Pandemi kali ini mengajarkan kita semua untuk berpahit-pahit. Bekerja keras dan sungguh-sungguh dengan tidak berharap imbalan, apalagi beroleh keuntungan seperti biasanya. Dari kasus Covid bisa "tersaring" siapa yang memang bekerja ikhlas dan yang hanya untuk kepentingan pribadi.
Dengan ungkapan Presiden ini masyarakat juga harus memahami maknanya, bukan sekadar berita biasa. Karena masyarakat juga yang dirugikan di sini. Artinya, dengan biaya besar PPKM, tidak ada yang didapat dari situ. Untuk itu masyarakat harus bisa berperan dan menjadi kontrol sosial setiap pelaksanaan kegiatan pemerintah.
Lebih penting lagi, masyarakat harus menyadari manfaat prokes dan kebijakan yang dilakukan untuk keselamatan bersama. Kekecewaan juga harus dirasakan masyarakat. Sehingga harus ikut berperan mendisiplinkan diri dan lingkungan masing-masing agar daya upaya tidak sia-sia. (***)
Sumber
: Hariansib edisi cetak