Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merespons perintah Presiden Jokowi terkait UU ITE. Polri akan mengedepankan upaya mediasi untuk penyelesaian masalah terkait UU ITE.
"Penggunaan dan penerapan pasal-pasal ataupun Undang-undang ITE yang selama beberapa hari ini kita ikuti bahwa suasananya sudah tidak sehat. Jadi, UU ITE digunakan untuk saling melapor dan kemudian berpotensi menimbulkan polarisasi yang kemudian ini tentunya harus kita lakukan langkah-langkah," ujar Sigit dalam Rapim TNI-Polri 2021 di Mabes Polri, Selasa (16/2).
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan agar penggunaan UU ITE lebih selektif lagi saat digunakan. Karena ada kesan kalau UU ITE represif terhadap kelompok tertentu dan tumpul ke kelompok lain.
Seperti diketahui, UU ITE dikeluarkan Presiden SBY pada 2008, sepuluh tahun setelah perjuangan reformasi yang memberikan perlindungan kepada warga untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Sayangnya, UU ITE justru dianggap mengancam kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan.
UU ITE dikeluarkan dengan niat untuk melindungi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik di tengah meluasnya penggunaan internet dalam perekonomian nasional.
Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah dan aparat justru dianggap menyalahgunakan UU tersebut untuk membungkam para pihak yang mengkritik.
Di bawah pemerintahan Jokowi, indikator kebebasan sipil turun dari 34 pada 2018 menjadi 32 pada 2019. Sementara indeks kebebasan berekspresi turun dari 12 dari tahun 2015 menjadi 11 pada 2019.
Meningkatnya jumlah kasus yang muncul dari penyalahgunaan UU ITE menyebabkan turunnya indeks kebebasan Indonesia dari pemerintahan SBY ke Jokowi.
Data Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International menunjukkan, kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE naik dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY (2009-2014) menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019), atau naik lebih dari tiga kali lipat.
Penyalahgunaan UU ITE bisa disebabkan beberapa alasan. Salah satunya karena pengaturannya yang terlalu luas dan tidak terdefinisikan baik. Misalnya istilah “informasi elektronik†dalam UU ITE yang sangat mudah dipelintir, termasuk informasi yang disampaikan lewat surat elektronik dan pesan singkat lewat telepon seluler. Padahal keduanya masuk dalam ranah privat.
Kemudian UU ITE juga tidak dengan jelas membedakan antara menghina dan mencemarkan nama baik.
Padahal kedua hal itu sudah diatur secara jelas di KUHP. Sebelum UU ITE berlaku, pelaku pencemaran nama baik dijerat dengan menggunakan Pasal 310-321 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Keberadaan UU ITE yang rancu membuat UU ini rentan disalahgunakan.
Rumusan yang longgar tersebut juga mudah disalahgunakan oleh penegak hukum dalam pembuktian.
Menurut data Amnesty International Indonesia, ada 241 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi selama periode Oktober 2014 hingga Juli 2019.
Pemidanaan terbanyak adalah mereka yang dianggap “membenci†dan “menghina†Presiden Jokowi. Jumlahnya 82 dari total 241 kasus atau lebih dari sepertiganya.
Dari total 82 tersebut, mayoritas (65 orang) dipidana karena menghina Jokowi di media sosial. Sisanya terjadi lewat medium offline seperti orasi dan demonstrasi.
Bahkan uniknya UU ITE dimanfaatkan beberapa pihak sebagai alat mengkriminalisaai pihak lain yang tidak disukainya. Sehingga saling lapor pun terjadi, mengakibatkan kasus meningkat tajam dan tugas Polri semakin menumpuk. Lalu pemerintah pun ikut terpojok karena dianggap antikritik.
Sikap Polri yang akan memeroses penegakan UU ITE dengan lebih mengedepankan hal-hal yang lebih bersifat edukasi dinilai cukup bijak. Jika sifatnya hanya pencemaran nama baik atau hoax, maka disarankan penyelesaian secara mediasi. Kemudian secara selektif membuat aturan dimana penegakan UU ITE ini lebih mengedepankan hal-hal yang lebih bersifat edukasi.
Dalam proses edukasi ini masyarakat juga diharapkan lebih bijak dalam menyampaikan kritik, saran atau lainnya. Sehingga apa-apa yang disampaikan bisa tepat sasaran, bukan malah jadi bumerang. Seiring berjalan waktu UU ITE juga harus direvisi dan disesuaikan dengan kebutuhan untuk peningkatan kualitas komunikasi masyarakat.
Kualitas seseorang atau suatu bangsa bisa juga dilihat dari caranya berkomunikasi dan dalam memanfaatkan media sosial. Karena orang yang berkualitas dan bijak tentu tidak akan berani berkomunikasi sembarangan yang bisa menjatuhkan harga dirinya. (***)
Sumber
: Hariansib edisi cetak