Masalah sensitifitas sosial wakil rakyat dan eksekutif di daerah ini kembali dipertanyakan. Ketua DPW PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Sumut HM Nezar Djoely ST mengatakan, kegiatan Sosper (Sosialisasi Perda) DPRD Sumut yang menghabiskan anggaran Rp3,9 miliar setiap bulan bagi 100 anggota dewan, dinilai hanya sebagai "akal-akalan" untuk menghabiskan dana dari APBD 2021, karena manfaatnya tidak akan maksimal bagi masyarakat.
Sebelumnya juga sudah menjadi sorotan soal pengadaan laptop untuk 100 anggota DPRD Sumut yang menelan dana APBD Sumut TA 2020 sebesar Rp2,3 miliar. Hal itu mendapat protes dari berbagai pihak, karena dinilai sebagai pemborosan uang rakyat di saat masyarakat sedang susah menghadapi pandemi Covid-19.
“Kegiatan Sosper hasil produk DPRD bersama eksekutif itu tidak akan ada manfaatnya, apabila tidak didukung dengan penerapan dalam mengaplikasikannya dengan pemerintahan terkait. Hal itu sama saja dengan membuang anggaran di tengah pandemi Covid-19," ujar Nezar Djoely kepada wartawan, Senin (1/3) di Medan menanggapi kegiatan Sosper yang lagi tren digelar DPRD Sumut.
Menurut mantan anggota DPRD Sumut ini, progres pembahasan Ranperda menjadi Perda jarang ditampilkan atau terpublikasi, baik di situs resmi maupun akun media sosial anggota DPRD, sehingga sangat mengagetkan, lembaga legislatif tiba-tiba sepakat dilakukan kegiatan Sosper.
Nezar menyarankan, semestinya Sosper ini bisa dilakukan bersamaan dengan kegiatan reses dewan yang dihadiri masyarakat banyak sekaligus dimanfaatkan untuk memberikan bantuan sosial di masa pandemi Covid-19 ini.
Wajar saja kepekaan mereka dipertanyakan karena uang sebesar itu hanya terbuang sia-sia dalam kondisi ekonomi bangsa terpuruk akibat pandemi Covid-19. Seharusnya uang itu bisa ditambahkan untuk pemberian bantuan sosial kepada warga miskin atau untuk kebutuhan pembangunan yang lebih bermanfaat.
Banyak kegiatan lain yang lebih bermanfaat tahun lalu dan saat ini dibatalkan karena anggarannya direfocusing untuk menunjang program kesehatan dan pemulihan ekonomi. Lihat saja misalnya, banyak jalan dan jembatan yang rusak saat ini tetapi ditunda perbaikannya karena ketiadaan dana.
Contoh lain, ada anggaran yang seharusnya untuk penanggulangan bencana alam, termasuk banjir ikut kena refocusing. Anggota DPRD Sumut Parsaulian dari Dapil VII pernah mencontohkan penanganan banjir di Madina yang dananya berasal dari Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Sumut ikut direfocusing. Seharusnya dana untuk kondisi darurat tersebut tidak kena refocusing, karena dikhawatirkan jika terjadi banjir, dapat menimbulkan beban baru bagi Pemprov dan masyarakat Sumut.
Sementara itu anggaran untuk pengadaan laptop kepada 100 anggota dewan senilai Rp 2,3 miliar dan untuk Sosper sebesar Rp 3,9 miliar malah dibiarkan berjalan tanpa dipotong apalagi dibatalkan. Padahal kedua program itu sama sekali tidak urgen atau bisa dibuat sekali jalan dengan program lainnya.
Artinya selama ini pemotongan anggaran untuk refocusing penanggulangan dampak pandemi Covid-19 tidak tepat. Sesuatu yang layak dipotong tak dilakukan, tetapi anggaran yang tak layak dipotong malah dipotong habis.
Seperti diketahui, untuk percepatan penanganan Covid-19 di Sumut, Pemprov melakukan refocusing (memfokuskan kembali) anggaran sebesar Rp1,5 triliun dari APBD 2020. Anggaran tersebut dikatakan digunakan untuk bidang kesehatan, sosial dan ekonomi.
Gubernur Sumut Edy Rahmayadi waktu itu menyampaikan, skema rancangan anggaran tersebut dilakukan sebanyak tiga tahap, mulai April-Juni, Juli-September sampai Oktober-Desember. “Awalnya memang untuk kesehatan, tetapi di jalan ada perubahan dan diberikan untuk jaring pengaman sosial (JPS). Karena itu tahap pertama ini kita siapkan Rp 502,1 miliar,†ujar Gubernur pada pertemuan yang juga dihadiri Ketua DPRD Sumut Baskami Ginting.
Untuk tahap kedua dan ketiga yakni Juli-September dan Oktober-Desember 2020, Pemprov Sumut juga memproyeksikan alokasi anggaran masing-masing sebesar Rp 500 miliar. Sehingga untuk penanganan Covid-19 keseluruhannya mencapai Rp 1,5 triliun lebih dari hasil refocusing APBD 2020.
Kita tidak tahu kondisi ini disengaja atau tidak. Bila tak disengaja, sungguh suatu kinerja yang sangat tidak baik. Karena soal SDM kita tidak perlu diragukan, mungkin saja koordinasi yang harus dibenahi. Namun bila itu disengaja, berarti hati nurani kita yang sudah beku dan tak layak lagi digunakan untuk memimpin masyarakat. Semoga ke depan ada perubahan lebih baik. (***)
Sumber
: Hariansib edisi cetak