Covid-19 dan dampaknya benar-benar memang menjengkelkan, bukan hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi pemerintah. Presiden Jokowi juga merasakan jengkel, karena uang Rp 182 triliun yang ditransfer dari pusat ke daerah selama pandemi Covid ini belum juga dibelanjakan, masih diendapkan di bank. Padahal menurut Presiden Jokowi, jika uang itu dibelanjakan maka akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang mandek akibat Covid.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2020 lalu memang sudah negatif karena pembatasan kegiatan masyarakat untuk mencegah merebaknya penularan Covid. Sebagian besar aktivitas ekonomi dan industri mandek, akibatnya pengangguran dan PHK juga meningkat. Uang masyarakat dan pemerintah pun akhirnya tidak dibelanjakan dan mengendap di bank.
Pemerintah tentu tidak bisa memaksa masyarakat untuk membelanjakan uangnya di tengah pandemi ini. Sehingga yang diharapkan penggerak ekonomi utama adalah penggunaan anggaran pemerintah. Salah satu di antaranya penggunaan anggaran PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) untuk mengatasi Covid dan dampaknya tahun 2021 yang nyaris mencapai Rp.700 triliun, di samping anggaran pembangunan lainnya yang sudah ditetapkan dalam APBN.
Demikian halnya di daerah, anggaran yang sudah ditetapkan dalam APBD juga sebagian besar direfocusing untuk penanganan Covid dan dampaknya. Sayangnya, sebagaimana dikeluhkan Presiden, penggunaan anggaran pusat yang sudah ditransfer ke daerah sebagian malah tidak digunakan dan menumpuk di bank. Bukannya menurun, tetapi pengendapan dana pusat itu di bank malah meningkat sampai 11,2 persen, hingga mencapai Rp 182 triliun pada Maret 2021 lalu.
Kita yakin bahwa penempatan uang itu di bank oleh Pemda bukan bertujuan untuk mendapatkan bunga sebagai tambahan Pendapatan Daerah. Diduga ada keraguan dan kekhawatiran Pemda menggunakannya karena persyaratan penggunaan dana itu cukup rumit, sehingga jika tidak prosedural malah bisa menyeret para pelaksananya berurusan dengan penegak hukum.
Kemungkinan lainnya adalah kurang profesionalnya aparat di daerah untuk melakukan proses tender dalam menentukan pelaksananya. Apalagi jika banyak yang merasa berkepentingan dan melakukan intervensi atas proyek yang sudah dianggarkan. Akibatnya membuat panitia terlalu banyak pertimbangan, sehingga bisa memperlambat bahkan menunda proses pelaksanaannya.
Selain mendesak percepatan pembangunan dengan penggunaan dana pusat itu, pemerintah juga mendesak agar masyarakat berbelanja. Bahkan kemudahan untuk membeli mobil baru juga diberikan kepada masyarakat sehingga roda industri otomotif juga tidak mandek. Di antaranya adalah insentif pajak PPnBM hingga 0 persen secara bertahap mulai bukan Maret lalu.
Namun kelihatannya kebijaksanaan ini juga masih belum mampu mendongkrak penjualan kendaraan roda empat. Diduga karena kendaraan itu bukan kebutuhan mendesak dan penting saat ini, sehingga masyarakat masih tetap memilih menggunakan dan memanfaatkan kenderaan yang ada.
Bagi masyarakat, himbauan untuk berbelanja ini merupakan hal yang lumrah. Bahkan tidak dihimbau pun, masyarakat tetap akan belanja untuk memenuhi kebutuhannya. Apalagi menjelang lebaran ini, keinginan masyarakat untuk belanja memenuhi kebutuhannya juga meningkat, namun dikhawatirkan akan timbul bahaya baru meningkatnya penularan virus corona akibat keramaian massa.
Menyaksikan keramaian masyarakat berbelanja di Pasar Tanah Abang, Sabtu (1/5), kita merasa khawatir akan dampaknya ke depan. Mereka tampak berdesak-desakan, seperti tidak ada ketakutan merebaknya kembali virus corona sebagaimana yang terjadi di India akhir-akhir ini akibat optimisme yang berlebihan.
Menerapkan protokol kesehatan (5M) tentu sangat sulit dan tidak memungkinkan lagi dipatuhi di tengah keramaian meskipun dengan melibatkan ribuan aparat keamanan mengaturnya. Akibatnya, bagi pemerintah maupun masyarakat hal ini menjadi dilema, yaitu belanja salah dan tidak belanja pun tetap salah. Kita harapkan pemerintah bisa menyikapi hal ini, sehingga menemukan solusi agar tidak menimbulkan bahaya dan biaya yang lebih besar ke depan dalam menangani Covid.
Silakan berbelanja, tetapi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. (*)