Sebulan- setelah dilantik, anggota DPR-RI bukannya bekerja. Mereka malah masih saja mempersoalkan kekuasaan di parlemen dengan membangun barisan masing-masing Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Persoalan berawal dari pemilihan Ketua Komisi dan Badan yang ada di DPR.
Untuk menyusunnya, maka diperlukan nama-nama yang seharusnya disetor ke pimpinan. Tetapi KIH kemudian menolak sebelum membicarakan mekanisme pemilihan di mana mereka meminta diputuskan dengan musyawarah atau dengan alokasi pembagian kursi yang proporsional.
Terakhir, akibat masalah ini, PPP yang sebelumnya pecah, kemudian mengusulkan nama-nama pimpinan. Masuknya nama dari PPP menyebabkan Parpol dalam KMP menggelar paripurna meski tanpa kehadiran Parpol KIH. Maka tersusunlah nama-nama pimpinan komisi dan badan dimaksud. Semuanya dikuasai Parpol pengusung Prabowo-Hatta dalam Pilpres lalu.
Tak terima, Parpol KIH kemudian mengeluarkan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR, membentuk pimpinan sendiri dan akan menggelar pula paripurna versi sendiri. Respon kita: memalukan! Bukannya bekerja untuk rakyat yang memilih mereka, mereka hanya berkutat soal menguasai parlemen dan mendudukkan kader-kader mereka untuk menjabat sebagai pimpinan alat kelengkapan DPR-RI.
Mengherankan dan membuat kita bertanya-tanya, apa parlemen kita sudah tidak punya urat malu? Andaikan KMP merasa bahwa mereka mayoritas, ada apa sehingga mereka ingin menguasai seluruh posisi di parlemen? Andaikan KIH juga merasa menjadi pemenang, mengapa mereka tidak berkomunikasi dengan lebih cair?
Semua memang berawal dari hitung-hitung kursi. Merasa sudah pasti menang dan berjaya andaikan dilakukan voting, KMP memang tak perduli pada etika dan kepentingan representasi. Sebelumnya mereka menggadang-gadang istilah musyawarah untuk mufakat ketika pemilihan kepala daerah versi DPRD mereka golkan. Sayangnya terbukti itu cuma pemanis mulut saja.
Beginilah yang terjadi ketika ambisi sudah sampai di ubun-ubun. Rasionalitas ditutupi oleh ego dan kepentingan politik sesat dan menyesatkan. Alih-alih membicarakan nasib rakyat, tampaknya hanya DPR yang terus menerus sibuk dengan dirinya sendiri. Ketika Presiden terpilih sudah bekerja, ketika perangkat lembaga negara lain sudah terbentuk, untuk mengurus dirinya sendiri saja DPR tidak mampu.
Kembali kepada para elitnya. Ternyata semuanya hanya sandiwara. Bertemu dan berbicara seolah tidak ada persaingan, berpelukan dan bersalaman seolah tiada kompetisi, tetapi ketika berdiri di hadapan kekuasaan, yang ada hanyalah siapa kuat akan menang. Kita sebagai rakyat merasa dibodohi menyaksikan wajah-wajah mereka yang tanpa malu-malu mengejar kekuasaan.
Harus berkata apa lagi buat mereka yang ada di parlemen sana? Apakah kita menunggu rakyat marah dan murka serta mencabut mandat mereka? Alangkah sangat menyakitkannya jika itu yang ditempuh.
Kita saat ini sudah lelah dengan kompetisi dan pertarungan kekuasaan ala KMP dan KIH. Kompetisi itu membawa bangsa ini terbelah terus. Seolah tak ada puas-puasnya bertarung, para pimpinan Parpol KMP dan KIH juga tidak mau duduk bersama untuk mendiskusikan maunya mereka apa. Padahal negara ini bukan milik mereka. Entah mengapa sebagai pemilik negara ini, kita hanya bisa menonton. Semoga rakyat masih bisa sabar menyaksikan perilaku bablas wakil rakyat yang, maaf, sudah tidak terhormat ini
(***)